Indonesia Serukan Strategi Wujudkan Laut yang Aman di Konferensi PBB
Pemerintah Indonesia melalui Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyerukan strategi untuk mewujudkan laut yang aman dalam konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Barcelona, Spanyol, Selasa (16/4). Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan Indonesia menawarkan sejumlah strategi untuk mengatasi potensi bencana maupun ancaman yang muncul di laut.
Indonesia merekomendasikan agar setiap negara beraliansi membangun jaringan yang melibatkan para akademisi, lembaga penelitian, antarpemerintah, maupun kemitraan pemerintah dan swasta. Strategi selanjutnya adalah memperkuat konteks lokal bagi komunitas di daerah terpencil.
Kemudian, perlibatan sektor swasta untuk mempercepat tercapainya early warning system for all (EW4ALL) terhadap potensi bencana di laut secara cepat, tepat, akurat, mudah dipahami dan direspons, serta luas jangkauannya.
Dwikorita juga menawarkan beberapa solusi untuk mengatasi kesenjangan dalam aspek teknis dan non teknis. Pada aspek teknis, Dwikorita menyodorkan solusi dengan target memberikan peringatan yang tepat waktu, dapat diandalkan, akurat, dapat dipahami, dan dapat ditindaklanjuti.
Hal tersebut dapat diwujudkan dengan pengamatan yang sistematis dan berkesinambungan, memperkuat sistem berbasis komunitas lokal yang ada serta sistem terintegrasi (berbasis kolaboratif) dan pertukaran data.
Dalam kesempatan tersebut, Dwikorita menyebut terdapat kesenjangan yang cukup lebar antarnegara dalam mewujudkan cita-cita laut yang aman untuk seluruh dunia. Kesenjangan ini meliputi persoalan teknis dan non-teknis yang saling berhubungan dan berkaitan erat.
"Untuk mengatasi kesenjangan non-teknis, solusinya dengan target untuk memastikan respons dini dapat dilakukan oleh masyarakat. Hal ini dapat dicapai dengan komunikasi risiko melalui pendidikan komunitas, meningkatkan literasi kebencanaan masyarakat, dialog, kemitraan pemerintah-swasta, dan sebagainya," kata Dwikorita saat menjadi pembicara kunci pada Sesi 3 Plenary, Safe and Predicted Ocean dalam UN Ocean Decade Conference di Barcelona, dikutip Rabu (17/4).
Dwikorita mengungkapkan, kesenjangan antarnegara yang pertama dalam hal kerangka hukum dan mekanisme kelembagaan. Ia menyebut banyak negara yang gagal menerapkan pertukaran data antarlembaga ataupun antarnegara, serta tidak adanya kerangka hukum untuk Multi-Hazard Early Warning Systems (MHEWS).
Kesenjangan kedua terkait prasarana pengamatan dan sistem pemantauan karena jaringan observasi yang dimiliki masih manual, serta keterbatasan anggaran untuk otomatisasi pemantauan dan transmisi data. Kesenjangan ketiga terkait prakiraan dan prediksi numerik yang belum dapat dilakukan karena keterbatasan kapasitas sumber daya manusia (SDM) dan ketersediaan sarana prasarananya.
Kesenjangan keempat dalam hal peramalan berbasis dampak di mana banyak negara dalam prakiraan dan peringatan yang dikeluarkan tidak memiliki informasi mengenai potensi bahaya dan kerentanan wilayahnya.
Selanjutnya, kesenjangan kelima dalam hal pengamatan data, yakni kurangnya data observasi khususnya di lautan. Keenam, kesenjangan pada layanan peringatan dan multi-hazard early warning systems karena masih banyak negara yang tidak memiliki kapasitas mumpuni untuk memperkirakan bahaya kumulatif dan dampaknya yang berjenjang.