Damri Usulkan PMN Rp 1 Triliun untuk Beli 100 Bus Listrik Transjakarta

ANTARA FOTO/Andika Wahyu/rwa.
Pengendara sepeda melaju di samping bus listrik Transjakarta di halte bus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Minggu (31/12/2023). Penggunaan bus berbasis listrik itu menjadi salah satu langkah nyata untuk mencapai net zero emisi serta mewujudkan transportasi umum yang bertanggung jawab terhadap aspek lingkungan dan sosial yang berkelanjutan.
9/7/2024, 19.19 WIB

Perum Damri mengusulkan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 1 triliun untuk 2025. PMN tersebut akan digunakan untuk penyediaan 100 bus listrik Transjakarta dan peremajaan bus diesel angkutan perintis.

Direktur Utama Perum Damri, Setia N Milatia Moemin, mengatakan dari total PMN tersebut sebanyak Rp510 miliar akan dialokasikan untuk menyediakan 100 bus listrik perkotaan beserta infrastruktur listrik. Sementara Rp490 miliar akan digunakan untuk meremajakan 384 bus diesel angkutan perintis.

Setia memaparkan usulan tersebut didasari oleh beberapa pertimbangan, seperti usia armada angkutan perintis yang rata-rata sudah lebih dari tujuh tahun dan kualitas bus yang kurang baik karena kondisi medan lapangan yang lebih berat.

Sementara itu, untuk armada angkutan perkotaan, usia bus yang beroperasi saat ini telah mendekati batas usia maksimal yang diperbolehkan beroperasi di Jakarta yaitu 10 tahun.

Sebagai operator bus, Damri memiliki kuota bus di wilayah Provinsi DKI Jakarta sebanyak 467 bus. Saat ini Damri telah mengoperasikan 26 bus listrik pada segmen Transjakarta. Pengadaan listrik bekerja sama dengan PLN.

“Ekuitas perusahaan juga belum mampu untuk berinvestasi dalam penggantian alat produksi bus untuk dua segmen ini,” ucap Setia dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI di Jakarta, Selasa (9/7).

Setia mengatakan, PMN itu diperlukan karena Damri menghadapi beberapa kendala dalam meremajakan angkutan perintis, di antaranya faktor biaya, infrastruktur, dan permintaan. Biaya operasi kendaraan angkutan perintis Damri belum memperhitungkan beberapa faktor, seperti biaya operasional yang tinggi di daerah dan medan yang sulit.

Selain itu, kelangkaan BBM di beberapa daerah Indonesia Timur juga membuat harga BBM lebih mahal daripada harga resmi eceran.

"Belum lagi, populasi penduduk di daerah layanan perintis yang umumnya rendah, serta tarif angkutan perintis yang diatur pemda juga rendah," ujarnya.

Reporter: Antara