Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pasar modal bisa menjadi salah satu alternatif bagi perusahaan energi terbarukan untuk memperoleh pendanaan dari investor dengan mencatatkan sahamnya di bursa atau Initial Public Offering (IPO).
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan investor perlu mencermati beberapa faktor terkait dengan IPO perusahaan energi terbarukan, salah satunya adalah faktor pendukung yang akan mendorong pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
"Seperti kebijakan, regulasi, ekosistem bisnis, stabilitas negara, dan makro ekonomi. Indonesia menargetkan karbon netral pada 2060 atau lebih cepat, target bauran energi bersih 23% pada 2025 dan 40% pada 2030," ujar Fabby dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (11/11).
Fabby mengatakan, dari sisi industri, Indonesia juga memiliki potensi sumber energi terbarukan yang besar. Berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi energi surya mencapai 3.295 gigawatt (GW), hidro 95 GW, bioenergi 57 GW, bayu (angin) 155 GW, arus laut 60 GW, geotermal 24 GW sehingga total 3.686 GW. Sementara itu, pemanfaatan energi bersih baru mencapai 12,54 GW per 2023.
IESR juga menyatakan investor perlu melihat prospek pengembangan bisnis energi terbarukan ke depan, daya saing, unique selling point, kemampuan dan keahlian, pengalaman, kredibilitas, kemitraan, serta strategi pengembangan dan pertumbuhan bisnis untuk mencapai profitabilitas berkelanjutan.
“Kalau saya sebagai investor akan memilih beli saham energi terbarukan daripada saham batu bara. Namun, saya harus melihat prospek perusahaan energi terbarukan yang IPO, proyeksi akan berkembang cepat atau lambat," kata Fabby.
Fabby menyebut, untuk permasalahan pendanaan IESR bersama Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) telah memasukkan dalam lima rekomendasi jangka pendek untuk percepatan transisi energi berkeadilan kepada Pemerintah.
IESR dan ICEF merekomendasikan kebijakan sektor ketenagalistrikan sesuai dengan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) dan mendorong pendanaan JETP.
Menurutnya, kendala pendanaan proyek energi hijau bisa diatasi, salah satunya melalui pasar modal, dengan melakukan IPO. Namun, banyak persyaratan yang harus dipenuhi sehingga tidak semua perusahaan bisa masuk ke bursa efek.
Untuk melantai di bursa, perusahaan energi terbarukan harus memiliki prospektus menarik, baik dari sisi kinerja operasional maupun keuangan.
"Misalnya, perusahaan energi terbarukan ini memiliki tiga sampai empat proyek, maka kita lihat bagaimana dengan investment return rate (IRR). Apakah memiliki kontrak jangka panjang. Apakah proyeknya tidak bermasalah, bagaimana rekam jejak dan kredibilitasnya,” ucapnya.
IPO Perusahaan Energi Terbarukan di BEI
Sebagaimana diketahui, dalam lima tahun terakhir, ada beberapa IPO yang sukses dari perusahaan energi terbarukan, termasuk PT Kencana Energi Lestari Tbk (KEEN), PT Arkora Hydro Tbk (ARKO), PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) dan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN).
Harga saham perusahaan-perusahaan tersebut telah meningkat setidaknya 30% sejak penawaran perdana hingga 30 September 2024. Sebagai contoh, sejak IPO pada 2 September 2019 hingga 30 September 2024 harga saham KEEN sudah naik 15,25%. Harga saham ARKO sudah melonjak 244,64% sejak IPO pada 8 Juli 2022 hingga 30 September 2024.
Emiten energi terbarukan juga membukukan pertumbuhan laba bersih pada kuartal III 2024. Laba BREN senilai US$ 86,05 juta (Rp 1,35 triliun) atau tumbuh 1,87% YoY, laba PGEO naik 0,36% YoY menjadi US$133,99 juta (Rp 2,08 triliun). Laba KEEN naik 0,94% YoY menjadi US$12,82 juta (Rp 200,79 miliar). EY Indonesia dalam risetnya menyebut emiten energi terbarukan juga membukukan pertumbuhan kinerja setelah mendapatkan dana dari pasar modal.
Fabby menilai, perusahaan yang akan melantai di bursa harus memiliki portofolio bagus, project pipeline, prospek bisnis, manajemen tertata, dan tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Perusahaan tersebut juga harus menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik (KAP) yang kredibel.
"Ini akan membuat investor percaya dan tertarik untuk memiliki sahamnya. Oleh sebab itu, perusahaan yang ingin IPO harus sejak awal mulai mengikuti standar-standar tata kelola perusahaan yang baik (GCG)," ujar Fabby.