Sejak Senin (21/8) sebanyak 50% aparatur sipil negara (ASN) yang berada di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjalankan kebijakan bekerja dari rumah (WFH). Selain untuk memperlancar Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN atau ASEAN Summit 2023 yang akan berlangsung pada 5-7 September 2023, kebijakan WFH tersebut ditujukan pula untuk mengatasi polusi udara.
Meski kebijakan bekerja dari rumah telah dijalankan, sejak Senin hingga Rabu (23/8), belum ada perbaikan kualitas udara Jakarta yang signifikan. Menurut data IQ Air pada Senin (21/8), kualitas udara di Ibu Kota masuk dalam kategori tidak sehat bagi kelompok sensitif dengan indeks 147.
Tingkat polusi tersebut semakin memburuk hingga pada Rabu tingkat polusi tercatat sebesar 178 dengan sumber polutan utama adalah PM2,5 sebesar 107 µg/m&³3;. Konsentrasi ini tercatat 21,4 kali lebih tinggi dari batas ambang yang disarankan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Sementara itu, menurut Indeks Standar Pencemar Udara yang dimiliki oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ada delapan stasiun di sekitar DKI Jakarta dan kabupaten penyangga Ibu Kota yang menunjukkan kualitas udara dalam kategori tidak sehat. Adapun parameter kritis umumnya adalah PM2,5.
Apa saja polutan berbahaya dalam polusi udara?
Dalam panduan WHO terbaru mengenai polusi udara yang diterbitkan pada 2021, ada enam parameter utama atau indikator pencemaran yang wajib dipantau untuk menilai kualitas udara. Keenam indikator itu adalah partikulat (PM), nitrogen dioxide (NO2), sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksoda (NOx), ozon permukaan (O3), dan karbon monoksida (CO).
Partikulat (PM)
Merupakan partikel halus yang berupa benda padat atau cair yang tersupensi di udara. Sumber partikel halus ini dapat berasal dari kegiatan manusia seperti dari pembakaran kendaraan, pembangkit tenaga listrik, dan dari proses industri.
Sedangkan sumber alami penghasil PM2,5 antara lain aktivitas vulkanik, pembakaran hutan dan pembakaran padang rumput. Kandungan utama dari partikulat umumnya adalah karbon dan material lainnya seperti ammonium sulfat atau abu metalik.
Ada dua parameter partikulat yang kerap digunakan sebagai indikator pencemaran yaitu PM2,5 dan PM10. PM2,5 bermakna partikel tersebut memiliki ukuran lebih kecil atau sama dengan 2,5 µm (mikrometer).
Sedangkan PM10 bermakna sebagai partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 10 µm. Partikel ini ditemukan dalam debu dan asap yang umumnya berasal dari aktivitas transportasi.
WHO memberikan panduan nilai ambang batas PM2.5 adalah 5 µg/m&³3; rata-rata tahunan, atau 15 µg/m&³3; rata-rata 24 jam. Sedangkan untuk PM10 memiliki ambang batas 15 µg/m&³3; rata-rata tahunan atau 45 µg/m&³3; rata-rata 24 jam.
Nitrogen dioksida (NO2)
NO2 merupakan salah satu pencemar udara yang dihasilkan dari proses pembakaran dan aktivitas transportasi. Pada intensitas dan konsentrasi berlebihan, gas NO2 dapat mengakibatkan infeksi paru-paru dan menggangu saluran pernapasan.
Bagi lingkungan, kadar NO2 di udara yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya hujan asam yang merusak bangunan. Selain merusak bangunan, hujan asam dapat menurunkan kualitas kehidupan satwa dan tumbuhan akibat adanya pengikisan jaringan epidermis dalam hujan asam.
Sulfur dioksida (SO2)
Menurut keterangan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, sulfur dioksida merupakan salah satu jenis gas oksida sulfur yang mudah terlarut dalam air. Gas ini terbentuk ketika terjadi pembakaran bahan bakar fosil yang mengandung sulfur.
Sedangkan sulfur terdapat dalam hampir semua material mentah yang belum diolah seperti minyak mentah, batu bara, dan bijih-bijih metal seperti alumunium, tembaga, seng, timbal dan besi.
Aktivitas yang menghasilkan gas ini antara lain kegiatan pembangkit tenaga listrik, terutama yang menggunakan batu bara ataupun minyak diesel sebagai bahan bakarnya. Aktivitas pembakaran kendaraan yang berbasis minyak, gas, dan diesel juga merupakan penghasil gas ini.
SO2 yang terkonversi ke udara akan menjadi pencemar sekunder, aeorosol sulfat. Aerosol sulfat yang masuk ke dalam saluran pernapasan dapat menyebabkan dampak kesehatan yang lebih berat karena mempunyai sifat korosif dan karsinogen.
WHO menetapkan ambang batas aman gas ini adalah 40 μg/m3 rata-rata 24 jam.
Nitrogen oksida (NOx)
Nitrogen oksida adalah senyawa kimia oksigen dan nitrogen yang terbentuk dari hasil pembakaran pada suhu tinggi. Gas NOx dihasilkan dari pembakaran yang menggunakan bahan bakar seperti minyak bumi, solar, gas, dan bahan organik lainnya.
Di atmosfer, reaksi NOx dapat menyebabkan asap kabut dan awan coklat. Paparan nitrogen oksida dari knalpot kendaraan dan emisi pembakaran dari PLTU batu bara dalam intensitas tinggi dapat menyebabkan iritasi pada sistem pernapasan, mata dan kulit, gangguan pernapasan, hingga membahayakan kesehatan janin.
Karbon monoksida (CO)
Gas karbon monoksida merupakan salah satu polutan pencemar berbahaya yang umumnya dihasilkan dari pembakaran mesin berbasis bahan bakar fosil, baik itu dari kendaraan maupun dari PLTU. Karbon monoksida merupakan gas yang tidak berwarna dan berbau namun dapat menyebabkan hipoksia jaringan yang membentuk karboksihemoglobin.
Mengutip situs web Kementerian Kesehatan, karboksihemoglobin adalah peristiwa ketika gas karbon monoksida masuk ke dalam darah kemudian bereaksi dengan hemoglobin. Reaksi ini menyebabkan kemampuan mengangkut oksigen dalam tubuh menjadi berkurang sehingga dapat menimbulkan kematian.
Ozon permukaan (O3)
Ozon permukaan berbeda dengan lapisan ozon di atmosfer. Ozon permukaan ini berupa kabut yang terbentuk dari reaksi sinar matahari dengan polutan seperti nitrogen oksida (NOx) dari emisi kendaraan dan industri.
Polusi ozon permukaan yang tinggi dapat memicu berbagai jenis persoalan kesehatan seperti gangguan pernapasan, asma, mengiritasi paru-paru hingga menyebabkan kerusakan pada paru-paru. Nilai pedoman WHO untuk ozon atau O3 sebesar 100 µg/m&³3; selama maksimum delapan jam setiap hari.