Beberapa hari terakhir di media massa dan media sosial nama Bacharuddin Jusuf Habibie atau B.J Habibie ramai diperbincangkan. Mencuatnya nama Presiden ketiga Republik Indonesia ini, bukan soal keilmuannya, atau mengenai kebijakan yang ia ambil saat menjabat sebagai Presiden. Namun, karena namanya tidak tercantum dalam jejak lini masa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Ini terlihat pada panel lini masa berjudul 'Sejarah Riset dan Inovasi Indonesia', yang menghiasi kantor BRIN. Panel lima masa tersebut, hanya memuat dua foto animasi Presiden pertama RI Ir. Soekarno dan Kepala BRIN Laksana Tri Handoko. Sisanya, hanya menampilkan logo besar G20.
Mungkin hanya sedikit masyarakat Indonesia yang mengetahui sepak terjang B.J Habibie dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini tidak mengherankan, karena publikasi karya pria yang dijuliki "Mr. Crack" ini, tidak banyak beredar di masyarakat.
Padahal, Habibie menorehkan prestasi yang luar biasa dalam teknologi penerbangan internasional. Selain itu, ia merupakan sosok yang membidani kelahiran beberapa lembaga riset di Indonesia, serta turut serta mengembangkan industri kedirgantaraan nasional.
Ulasan berikut ini, akan membahas mengenai profil singkat B.J Habibie, serta penemuan yang melambungkan namanya di kancah internasional.
Masa Kecil dan Pendidikan B.J Habibie
Lahir pada 25 Juni 1936 di Parepare, Sulawesi Selatan, B.J Habibie merupakan anak keempat dari delapan bersaudara. Ia lahir dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo.
Ia menghabiskan masa kecil di tempat kelahirannya, di Parepare. Namun, menginjak usia 14 tahun ia pindah ke Bandung, Jawa Barat pada 1950 setelah ayahnya meninggal karena penyakit jantung.
Di Bandung, Habibie menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Gouvernments Middlebare School. Setelah tamat SMA pada 1954, ia melanjutkan menempuh pendidikan di jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung (ITB).
Masa studi Habibie di ITB tergolong singkat, hanya enam bulan. Sebab, ia memutuskan untuk melanjutkan studi teknologi penerbangan di Universitas Teknologi Delft, Belanda.
Namun, karena sengketa Irian Barat antara Indonesia dan Belanda, Habibie pindah ke Universitas RWTH Aachen di Jerman Barat dengan jurusan konstruksi pesawat terbang. Ia menyelesaikan gelar tekniknya (Diplom-Ingenieur) pada 1960, dan tinggal di Aachen sebagai asisten peneliti sambil menyelesaikan gelar doktornya.
Selama masa studi doktor tersebut, Habibie bekerja untuk Waggenfabrik Talbot, sebuah perusahaan kereta api, di mana ia membantu merancang gerbong kereta. Pada 1965, ia menerima gelar Doktor Ingenieur (Dr. Ing.) di bidang teknik kedirgantaraan.
Penemuan Habibie di Bidang Teknologi Penerbangan
Usai menyelesaikan pendidikan doktor di bidang teknik kedirgantaraan, Habibie kemudian bergabung dengan Messerschmitt-Bolkow-Blohm (MBB), sebuah perusahaan penerbangan Jerman. Di perusahaan ini, ia mengembangkan Metode Habibie (aerodinamika), Teorema Habibie (konstruksi), dan Faktor Habibie (termodinamika).
Selama berkarir di MBB, Habibie mengembangkan suatu metode yang akhirnya mengubah wajah dunia penerbangan. Metode atau penemuan yang dimaksud, adalah teori perambatan retak atau crack propagation theory. Temuan inilah yang membuat ia dijuliki "Mr. Crack".
Teori perambatan retak dicetuskan Habibie untuk menjawab akibat kecelakaan pesawat saat itu, yang utamanya disebabkan karena kegagalan konstruksi, kebanyakan karena kelelahan (fatigue) pada badan pesawat.
Hingga awal dekade 1960-an, kecelakaan pesawat sering terjadi karena kegagalan konstruksi, kebanyakan karena kelelahan pada badan pesawat. Ketika kelelahan logam terjadi, itu adalah awal dari sebuah retakan.
Titik kritis kelelahan umumnya terletak pada sambungan antara sayap, dan dudukan mesin, atau antara sayap dan badan pesawat. Titik-titik ini mengalami turbulensi konstan, terutama saat lepas landas dan mendarat.
Titik retak akan terus bercabang dan menyebar hari demi hari di dalam struktur pesawat. Jika tidak terdeteksi, sayap bisa patah saat lepas landas.
Saat itu, masih sulit untuk menemukan kelelahan ini lebih awal, karena tidak ada pemindai laser atau sensor untuk mengatasi masalah krusial ini. Risiko kelelahan semakin signifikan, karena industri penerbangan beralih dari penggunaan baling-baling ke jet.
Melalui teori yang dicetuskan Habibie, titik retak dapat diprediksi lebih awal. Ini membuat pesawat lebih aman, karena mengurangi risiko kegagalan mendadak, sekaligus membuat perawatannya lebih murah dan mudah. Dengan titik retak tertentu, konstruksi pesawat juga menjadi lebih cepat karena uji fatigue dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat.
Sebelumnya, para insinyur penerbangan biasa mengatasi kemungkinan retakan dengan menaikkan faktor keamanan. Ini berarti menggunakan bahan yang lebih berat untuk badan pesawat, menggunakan paduan aluminium dan baja.
Setelah titik retak dapat ditentukan, faktor keamanan atau safety factor dapat dikurangi, dan pesawat dapat dibuat dengan menggunakan material yang lebih ringan.
Inilah yang disebut "Faktor Habibie", yang dapat meringankan bobot kosong operasi, yakni bobot penumpang dan pesawat tanpa bobot bahan bakar, hingga 10% dari bobot sebelumnya. Bahkan, angka ini bisa turun hingga 25% setelah Habibie memperhitungkan penggunaan material komposit ke badan pesawat.
Penggunaan material komposit tidak membuat penurunan berat badan maksimal take off weight-nya, yakni berat total pesawat ditambah penumpang dan bahan bakar, ikut merosot. Dengan begitu, secara umum daya angkut dan pesawat bertambah jarak tempuh lebih jauh. Sehingga secara ekonomis, performa pesawat dapat ditingkatkan.
Faktor Habibie juga berperan dalam pengembangan teknologi penggabungan bagian per bagian badan pesawat. Sehingga, sambungan badan pesawat yang berbentuk silinder dengan sayap samping yang berbentuk oval, mampu menahan tekanan udara saat badan pesawat lepas landas.
Begitu juga sehubungan dengan pembuatan landing gear badan pesawat yang jauh lebih kokoh, sehingga mampu menahan beban saat pesawat mendarat.
Teori perambatan retak yang dicetuskan Habibie menjadi jawaban dari kebuntuan selama 40 tahun dalam sejarah penerbangan komersial. Teori tersebut diakui oleh lembaga penerbangan Eropa dan diadopsi pada pesawat komersial terbaru saat itu, seperti A300 yang diproduksi oleh Airbus.
Teori yang ia cetuskan ini, membawa karir Habibie semakin maju di MBB, dengan posisi terakhir sebagai Vice President, pada 1974.
Mengembangkan Industri Dirgantara Indonesia
Karir Habibie di industri penerbangan sebagai Vice President di MBB berlangsung singkat. Sebab, pada 1974 Presiden Soeharto merekrutnya untuk kembali ke Indonesia sebagai bagian dari upaya untuk melakukan industrialisasi dan pembangunan negara.
Saat direkrut oleh Presiden Soeharto, Habibie awalnya menjabat sebagai asisten khusus Ibnu Sutowo, Direktur Utama PT Pertamina. Di perusahaan minyak milik negara ini, Habibie membentuk Divisi Teknologi dan Teknologi Penerbangan (ATTP) Pertamina, yang merupakan cikal bakal Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
ATTP yang dibentuk oleh Habibie, menjadi tonggak awal pengembangan industri dirgantara modern Indonesia. Segera setelah terbentuk ATTP menandatangani perjanjian dasar untuk kerja sama lisensi dengan MBB, Jerman dan CASA, Spanyol untuk produksi helikopter BO-105 dan pesawat NC-212.
Pada 1976, Habibie menjadi figur penting dalam pendirian PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio. Perusahaan ini merupakan cikal bakal Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), yang kemudian menjadi PT Dirgantara Indonesia. Nama Nurtanio saat itu dipilih untuk menghormati salah satu tokoh pioner penerbangan Indonesia, yakni Nurtanio Pringgoadisurjo.
Di bawah kepemimpinan Habibie, pertumbuhan industri pesawat terbang modern dan lengkap di Indonesia baru saja dimulai. Pada periode ini semua aspek infrastruktur, fasilitas, sumber daya manusia, hukum dan peraturan, dan yang terkait dan mendukung keberadaan industri pesawat terbang diselenggarakan secara terpadu.
Selain itu, industri ini juga mengembangkan teknologi yang progresif dan konsep transformasi industri yang ternyata memberikan hasil optimal dalam upaya penguasaan teknologi penerbangan dalam waktu yang relatif singkat yaitu 20 tahun.
Habibie juga memimpin proyek N-250 Gatotkaca yang merupakan pesawat pertama di Indonesia yang diproduksi oleh IPTN, dan dirancang sendiri olehnya.
Pesawat N-250 memiliki enam baling-baling, dengan kecepatan jelajah maksimum 610 km/jam, dan kecepatan jelajah ekonomis 555 km/jam. Ini menjadikan N-250 Gatotkaca sebagai pesawat tercepat di kelasnya, sebagai pesawat turboprop 50 kursi saat itu.
Namun, pesawat ini belum sempat memasuki tahap produksi komersial, meski IPTN sudah setengah jalan dari program uji terbang 1.400 jam. Penyebabnya, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) meminta Indonesia menghentikan dukungan terhadap program N-250, sebagai bagian dari rencana dana talangan pemerintah IMF senilai US$ 43 miliar.
Habibie sempat ingin menghidupkan kembali program N-250 pasca-reformasi. Bahkan, saat itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memberi persetujuan.
Namun, rencana tersebut urung dilaksanakan saat itu. Sebab, untuk menekan biaya produksi dan meningkatkan daya saing harga di pasar internasional, harus dilakukan perubahan yang mengakibatkan penurunan performa seperti pengurangan kapasitas mesin, dan penghapusan sistem fly-by-wire.
Meski demikian "roh" N-250 tidak mati begitu saja. Pada 2012, Habibie mendirikan PT Regio Aviasi Industri, yakni perusahaan yang bergerak dalam bidang perancangan, pengembangan, dan manufaktur pesawat terbang. Perusahaan ini, ia dirikan bersama putra sulungnya, Ilham Habibie.
Melalui RAI, pengembangan N-250 diteruskan ke model pesawat baru, yakni R-80. Pesawat ini memiliki kapasitas 80 hingga 92 penumpang dalam konfigurasi kelas tunggal dan dioperasikan oleh dua kru penerbang.
Memasuki dekade 2020-an, pesawat R-80 menjadi salah satu inisiatif kegiatan pemerintah yang dituangkan dalam Peta Jalan Pengembangan Ekosistem Industri Kedirgantaraan Indonesia 2022-2045.
Membidani Beragam Lembaga Riset di Indonesia
Tak hanya di industri penerbangan, sebagai Menteri Riset dan Teknologi, B.J. Habibie menjadi figur penting yang membidani kelahiran beragam lembaga riset di Indonesia.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, saat menjabat sebagau asisten khusus di Pertamina, Habibie membentuk Divisi Teknologi dan Teknologi Penerbangan (ATTP) Pertamina, yang merupakan cikal bakal Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Namun, BPPT bukanlah satu-satunya lembaga riset yang lahir dibidani oleh Habibie. Salah satunya, adalah Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), yang gagasannya telah dilontarkan oleh Prof.Dr.Sumitro Djojohadikusumo.
Kemudian, ia juga membidani munculnya Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS), yakni sebuah lembaga yang menaungi 10 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di industri strategis. Beberapa BUMN yang dimaksud, contohnya adalah PT Pindad, PT PAL, dan PT Industri Kereta Api, serta Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).
Selain itu, ia juga memprakarsai terbentuknya Tim Perumus Program Utama Nasional Riset dan Teknologi (Pepunas Ristek), yang merupakan cikal bakal Dewan Riset Nasional (DRN).
Habibie juga ternyata turut andil dalam pembentukan Lembaga Eijkman pada 1995, yakni lembaga penelitian di bidang biologi molekuler. Mengutip theconversation.com, Habibie mendorong kelahiran lembaga ini setelah berdiskusi dengan Sangkot Marzuki, yang waktu itu merupakan peneliti biologi molekuler di Monash University di Melbourne, Australia.