PT Istaka Karya (Persero) yang dinyatakan pailit pada Juli 2022 lalu dan resmi dibubarkan oleh Presiden Joko Widodo pada 17 Maret 2023 lalu, akan menjual aset-asetnya untuk melunasi utang-utangnya.
PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) memastikan para kreditur konkuren akan mendapatkan sebagian dari hasil penjualan aset PT Istaka Karya. Kreditur konkuren merupakan kreditur yang tidak memegang hak jaminan kebendaan, tetapi memiliki hak untuk menagih debitur berdasarkan perjanjian.
Keputusan ini merupakan hasil rapat para kreditur dengan kurator yang diselenggarakan oleh pengadilan pada 4 Agustus 2023 lalu. Sejak diputus pailit, penyelesaian kewajiban Istaka Karya ditangani oleh kurator yang diawasi oleh pengadilan.
Direktur Investasi 1 dan Restrukturisasi PPA Rizwan Rizal Abidin mengatakan PT PPA bersama kreditur separatis mendukung permintaan kurator untuk membagi sebagian dari hasil penjualan jaminan kepada para kreditur konkuren.
Kreditur separatis adalah kreditur pemegang hak jaminan kebendaan seperti fidusia, hipotek, atau hak jaminan atas kebendaan lainnya. Menurut Rizwan, pembagian hasil tersebut akan diserahkan melalui mekanisme pengadilan atau diputuskan oleh pengadilan.
Sejarah Pendirian Istaka Karya
Perusahaan pelat merah yang bergerak di bidang konstruksi ini secara resmi berdiri pada 4 November 1980 sebagai perusahaan konstruksi konsorsium dengan nama Indonesian Consortium of Construction Industries atau PT ICCI. Di dalam konsorsium ini terdapat 18 perusahaan konstruksi.
Perusahaan ini memulai sejarahnya pada pertengahan dekade 1970-an ketika Pertamina mengalami masalah keuangan. Saat itu, perusahaan yang biasanya mengerjakan kontrak dari Pertamina pun kepayahan karena tak mendapatkan kontrak.
Untuk melepaskan diri dari kesulitan itu, mereka mencari kontrak dari luar Indonesia. Namun karena perusahaan ini berukuran relatif kecil, mereka hanya mampu menjadi subkontraktor saja.
Dengan kondisi tersebut, Menteri Pekerjaan Umum berpendapat bahwa hal tersebut tidak akan menguntungkan bagi perusahaan Indonesia. Sehingga diputuskan perusahaan asal Indonesia yang akan beroperasi di Timur Tengah akan menjadi konsorsium.
Saat itu, pemerintah akhirnya memutuskan untuk menggabungkan seluruh perusahaan tersebut menjadi konsorsium berbentuk perseroan terbatas. Konsorsium pun terbentuk dengan nama PT ICCI.
Pemerintah berjanji akan membantu perseoran tersebut yang diwujudkan dalam bantuan untuk operasional awal seperti survei ke Arab Saudi dan ke Amerika Serikat. Biaya survei yang dibutuhkan saat itu rata-rata sebesar Rp 30 juta dan pemerintah bersedia menanggung 80% biaya. Dukungan lainnya berupa penjamin pinjaman yang diambil oleh ICCI ke bank.
Pemerintah akhirnya mengambil alih seluruh saham PT ICCI pada 1983 dan mengubah namanya menjadi PT Istaka Karya (Persero).
Konstruksi Warisan Perusahaan
Semasa masih bernama PT ICCI, perusahaan ini banyak mendapatkan kontrak pengerjaan konstruksi di luar negeri. Antara lain pembangunan perumahan, gedung akademi, jalan, taman, masjid, dan bangunan pelengkap lain di Akademi Militer Raja Abdul Azis, yang terletak sekitar 40 kilometer di barat laut Riyadh. Kontrak bernilai US$ 251 juta didapatkan melalui kerja sama dengan Saoud Al-Muraibid Establishment, perusahaan kontraktor yang berbasis di Riyadh.
Proyek lainnya adalah pembangunan gedung, tangki air, penyimpanan terbuka, dan sejumlah fasilitas lainnya di pangkalan Angkatan Laut Arab Saudi di Jubail. Kontrak ini senilai US$ 32 juta. Kontrak dengan militer Arab Saudi lainnya adalah pembangunan gedung dan apron di pangkalan Angkatan Udara Arab Saudi, Dhahran, dengan nilai US$ 47 juta.
Di dalam negeri, beberapa proyek yang dikerjakan oleh Istaka Karya antara lain reklamasi Bitung Manado, Plaza Batamindo, dan kereta bandara Yogyakarta International Airport. Istaka juga dikenal dengan beberapa proyek fly over dan jembatan seperti fly over Casablanca, jembatan-jembatan Trans Papua yang membentang dari Habema-Mugi, jalan layang Kampung Melayu- Tanah Abang, dan underpass Kentungan, Yogyakarta, yang membentang sepanjang 900 meter.