Profil Romo Magnis, yang Sebut Presiden Mirip Mafia di Sidang MK

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/foc.
Profesor Filsafat STF Driyarkara Franz Magnis-Suseno menjadi saksi ahli saat sidang lanjutan sengketa hasil pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (2/4/2024).
Penulis: Safrezi Fitra
Editor: Safrezi
3/4/2024, 15.51 WIB

Guru Besar Filsafat STF Driyarkara Franz Magnis-Suseno menjadi salah satu ahli dalam sidang lanjutan perkara sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (2/4). Pria yang akrab disapa Romo Magnis ini dihadirkan oleh kubu Ganjar-Mahfud.

Romo Magnis banyak memaparkan persoalan etika seorang presiden dalam sidang tersebut. Salah satu keterangan yang menjadi sorotan adalah dia menyebut presiden yang tidak ubahnya seperti pemimpin organisasi mafia apabila menggunakan kekuasaannya hanya untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Dia juga mengatakan perilaku presiden yang membagi-bagikan bantuan sosial (bansos) demi memenangkan pasangan calon tertentu, mirip pegawai yang diam-diam mencuri uang dari kas toko. Bansos bukan milik presiden, melainkan milik bangsa Indonesia yang pembagiannya menjadi tanggung jawab kementerian yang bersangkutan dan ada aturan dalam pembagiannya.

Presiden seharusnya menjadi pemimpin seluruh masyarakat dan bertanggung jawab terhadap keselamatan bangsa, sehingga tidak boleh menggunakan kekuasaan demi keuntungan pribadi dan keluarganya. Dia lantas mengingatkan bahwa sikap pemerintah yang menguntungkan kepentingannya sendiri dapat menyebabkan situasi tidak aman.

Romo Magnis mengutip filsuf Immanuel Kant yang menyebutkan bahwa masyarakat akan menaati pemerintah apabila pemerintah bertindak atas dasar hukum yang berlaku. Apabila penguasa bertindak tidak atas dasar hukum dan tidak demi kepentingan seluruh masyarakat, melainkan memakai kuasanya untuk menguntungkan kelompok, kawan, keluarganya sendiri, maka motivasi masyarakat untuk menaati hukum akan hilang.

"Akibatnya, hukum dalam masyarakat tidak lagi aman, negara hukum akan merosot menjadi negara kekuasaan dan mirip dengan wilayah kekuasaan mafia," katanya lagi.

Pernyataan Romo Magnis di hadapan sidang MK ini cukup berani dan menghebohkan media sosial. Bahkan dia sempat berdebat dengan tim hukum pasangan calon presiden Prabowo-Gibran, Hotman Paris Hutapea. Romo Magnis menjawab dengan teori-teori akademis dalam kapasitasnya sebagai ahli. Lantas, siapa dan bagaimana sosok Frans Magnis-Suseno? Berikut ulasannya

Profil Romo Magnis

Franz Magnis-Suseno lahir di Nurnberg, Jerman, pada 26 Mei 1936, dengan nama Franz Graf von Magnis. adalah seorang imam Katolik, pengajar filsafat, dan juga penulis. Magnis merupakan anggota Serikat Yesus. Layaknya kebanyakan pastur, Frans Magnis-Suseno pun memiliki panggilan akrab yakni Romo Magnis.

Dia merupakan lulusan Kolese Yesuit di St. Blasien tahun 1955, kemudian bergabung dengan Ordo Yesuit dan menjadi rohaniawan muda Katolik. Dua tahun pertama di Ordo Yesuit, Romo Magnis lebih banyak menghabiskan waktu dengan mendalami kerohanian di Neuhauseun.

Setelah menamatkan studi filsafat di Pullach, Jerman, dia datang ke Indonesia sebagai misionaris pada 1961. Selain menyebarkan agama, Romo Magnis awalnya datang ke Indonesia karena ingin belajar di Jogjakarta tentang filsafat dan teologi. Dia pun mempelajari bahasa dan kebudayaan Jawa agar dapat dengan mudah membaur dengan kehidupan masyarakat setempat.

Setelah beberapa tahun di Indonesia, ia diangkat menjadi pastur. Setelah itu, ia mendapatkan tugas belajar di Jerman sampai ia memperoleh gelar doktor bidang filsafat. Ia menyusun sebuah disertasi tentang Karl Max saat penempuhan studi tersebut.

Pada 1973, Romo Magnis mengambil doktoral filsafat dari Universitas München dan sejak 1969 menjadi dosen tetap dan guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta. Kecintaannya kepada Indonesia membawa Romo Magnis mengganti kewarganegaraannya. Pada tahun 1977, ia menjadi warganegara Indonesia dan menambahkan nama Suseno di belakang namanya.

Romo Magnis juga banyak menulis buku dan artikel tentang Jawa, salah satu buku berjudul 'Etika Jawa'. DIa menulis buku ini setelah selesai menjalankan tahun sabbat di Paroki Sukoharjo, Jawa Tengah. Bukunya yang lain yang menjadi acuan dan referensi bagi mahasiswa ilmu politik dan filsafat di Indonesia adalah 'Etika Politik'.

Romo Magnis dikenal sebagai orang yang ramah dan bersahabat dengan semua orang tanpa membeda-bedakan golongan, seperti filsafat Jawa yang dia pelajari untuk bersikap baik kepada siapa pun. Dia bisa menerima perspektif baru tentang Islam dari interaksi positifnya dengan Gus Dur dan Cak Nur yang dikaguminya. 

Profil Frans Magnis Suseno juga merupakan cendekiawan cerdas yang mendapatkan gelar doktor kehormatan bidang teologi dari Universitas Luzern Swiss.

Mendapat Bintang Mahaputra dari Jokowi

Meski menyatakan kritik keras dalam sidang MK, Franz Magnis Suseno sebenarnya pernah mendapatkan Bintang Mahaputra Utama dari Presiden Joko Widodo pada 2015. Dia mendapatkan penghargaan tersebut atas kerja dan pemikirannya selama ini dalam bidang pluralisme dan kemanusiaan di Indonesia.

Franz merasa sangat dihormati ketika mengetahui akan diberi penghargaan oleh Presiden. Padahal, ia menyadari seringkali mengkritik pemerintah melalui tulisan-tulisannya di media massa.

Sebelumnya, dia mengaku pernah menolak diberikan Bakrie Award. Alasannya, penghargaan itu dibiayai oleh perusahaan Grup Bakrie yang dalam pandangannya saat itu tidak memenuhi kewajiban terhadap korban di lumpur di Sidoarjo.

Saat mendapatkan penghargaan tersebut, Romo Magnis mengatakan dirinya akan tetap kritis terhadap pemerintah. Menurutnya kritis pada lingkungan sosial dan kebijakan pemerintah merupakan bentuk kepedulian pada bangsa dan negara Indonesia.