Pasang-Surut Hubungan Indonesia dengan Israel

ANTARA FOTO/REUTERS/Ammar Aw
Bendera Israel berkibar dengan latar Dome of the Rock atau Masjid Kubah Batu bagi umat Muslim dan Bait suci untuk umat Yahudi di Kota Tua Yerusalem, Jumat (24/1/2020).
30/3/2023, 15.07 WIB

Indonesia batal menjadi tuan rumah untuk Piala Dunia FIFA U20 2023 menyusul penolakan terhadap tim nasional Israel. Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA)  memutuskan untuk memindahkan lokasi turnamen sepak bola internasional itu.

Lembaga yang bermarkas di Zürich, Swiss, itu tidak menulis spesifik alasannya selain “karena keadaan saat ini". “Tuan rumah yang baru akan diumumkan secepatnya, dengan jadwal turnamen yang tidak berubah. Sanksi potensial terhadap (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) juga akan ditentukan nanti,” tulis lembaga tersebut usai pertemuan dengan Presiden FIFA Gianni Infantino dan Ketua PSSI Erick Thohir, Rabu (29/3).

Pemindahan lokasi Piala Dunia FIFA U-20 ini menyusul pembatalan penyelenggaraan undian turnamen di Bali pada esok hari. Pasalnya, Gubernur Bali I Wayan Koster menolak kedatangan tim nasional Israel.

Ia beralasan kedua negara tidak memiliki hubungan diplomatik. Selain itu, Indonesia juga menentang keras aksi kependudukan Israel atas Palestina.

Indonesia batal jadi tuan rumah Piala Dunia U20. (ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/nym.)

Hubungan Indonesia dan Israel

Penolakan atas partisipasi Israel dalam ajang olahraga memiliki preseden. Pada 1962, misalnya, pemerintah Indonesia menolak memberikan visa kepada tim nasional Israel untuk ikut serta dalam Pesta Olahraga Asia (Asian Games) di DKI Jakarta.

Akibatnya, Komite Olimpiade Internasional melarang perwakilan Indonesia untuk berpartisipasi dalam Olimpiade yang diselenggarakan di Tokyo, Jepang, pada 1964.

Keputusan untuk menolak partisipasi tim nasional Israel pada 1962 merefleksikan pandangan antikolonial Presiden Soekarno. Analis politik Johannes Nugroho menyebut Sang Proklamator menolak membangun hubungan diplomatik dengan Israel dan keikutsertaannya dalam Konferensi Asia-Afrika. Israel dianggap penjajah bagi rakyat Palestina.

Namun, hubungan Indonesia dan Israel perlahan-lahan memasuki babak baru lewat sektor militer seiring dengan pergantian kepemimpinan ke Presiden Soeharto pada 1966. Selain kerja sama pelatihan, pemerintah juga membeli pesawat tempur Douglas A-4 Skyhawk dari Israel antara 1981 dan 1982.

Pada 1999, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab mulai mengemukakan ide untuk membangun hubungan komersial dengan Israel. Meskipun bukan hubungan diplomatik, ide ini tetap bermuara ke demonstrasi dan oposisi dari sejumlah kelompok muslim.

Perdagangan antara kedua negara telah tumbuh pesat terutama sejak 2007. Data perdagangan Perserikatan Bangsa-Bangsa menujukkan ekspor Indonesia ke Israel mencapai US$ 162,7 juta pada 2021. Sebaliknya, impor dari Israel mencapai $ 26,5 juta.

Kebijakan Politik Indonesia terhadap Israel

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga lebih terbuka terhadap interaksi antarpejabat Indonesia dan Israel. Pada November 2007, misalnya, Presiden dari Partai Demokrat ini menghadiri Konferensi Annapolis di Amerika Serikat.

Konferensi yang bertujuan untuk membangkitkan proses perdamaian Israel-Palestina itu menghadirkan pemimpin dari kedua belah pihak, yaitu Perdana Menteri Israel Ehud Olmert dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas.

Kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Israel cenderung menetap, meskipun setiap era pemerintahan memiliki coraknya masing-masing. Presiden Joko Widodo mengambil kebijakan yang lebih lunak dibandingkan Presiden Soekarno. Dalam pidatonya kemarin, Jokowi mengizinkan tim nasional Israel untuk berpartisipasi dalam Piala Dunia FIFA U-20 saat Indonesia masih memegang status tuan rumah.

Ahli kebijakan luar negeri Dewi Fortuna Anwar mengatakan dukungan pemerintah terhadap Palestina dan penolakan untuk membangun hubungan diplomatik dengan Israel berkaitan dengan perlawanan historis Indonesia terhadap kolonialisme, bukan dengan alasan religius. Namun, masyarakat pada umumnya mengambil dua sikap ini sebagian besar karena sentimen agama.

“Penolakan publik yang kuat terhadap setiap inisiatif untuk membuka hubungan antara Jakarta dan Tel Aviv telah menjadi satu-satunya perwujudan terpenting dari pengekangan Islam terhadap kebijakan luar negeri Indonesia,” tulis Dewi dalam jurnal Foreign Policy, Islam and Democracy in Indonesia yang terbit pada 2010.

Reporter: Dzulfiqar Fathur Rahman