Sejarah Koalisi Besar dalam Pilpres, Hanya Sukses Usung Petahana

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (kanan), Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (kedua kiri), dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) memberikan keterangan pers usai menghadiri acara Silaturahmi Ramadhan 1444 H DPP PAN di Kantor DPP PAN, Jakarta, Minggu (2/4).
11/4/2023, 13.55 WIB

Wacana koalisi besar untuk pemilihan umum atau Pemilu 2024 menguat setelah Presiden Joko Widodo bertemu dengan lima ketua umum partai politik. Namun, dalam dua dekade terakhir, sejarah menunjukkan koalisi seperti ini tidak menjamin sebuah kemenangan.

Dalam pertemuan politik pada 2 April 2023 itu, hadir para petinggi partai politik. Mereka adalah Prabowo Subianto dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Airlangga Hartarto dari Partai Golongan Karya (Golkar), Zulkifli Hasan dari Partai Amanat Nasional (PAN), dan Mardiono dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), partai-partai tersebut telah tergabung dalam koalisi pendukung pemerintahan Jokowi. Kelima partai ini menguasai kira-kira setengah kursi di majelis rendah dalam periode 2019-2024.

Hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Lalu, ada dua partai menyatakan keinginannya untuk bergabung dalam koalisi itu. Keduanya adalah Partai Persatuan Indonesia (Perindo) dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Gerindra dan PKB membahas koalisi besar. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/hp.)

Sejarah Koalisi Besar dalam Pilpres

Pembentukan koalisi besar akan menandai peleburan dua koalisi partai politik yang telah terbentuk, yaitu Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) dan Koalisi Indonesia Baru (KIB).

KKIR terdiri dari Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sedangkan KIB terdiri dari Partai Golkar, PAN, dan PPP. Di antara kedua koalisi ini, hanya KKIR yang telah memiliki calon presiden untuk Pilpres 2024, yaitu Prabowo Subianto.

Dalam sejarahnya, Koalisi besar belum tentu bermuara ke kemenangan. Pada 2004, misalnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla mampu memenangkan Pilpres meskipun koalisinya kecil pada putaran pertama. Bahkan, ketika itu Partai Demokrat merupakan partai baru yang belum memiliki wakil di Senayan saat mengusung keduanya.

Pada putaran kedua, koalisi partai pendukung Megawati Soekanorputri dan Hasyim Muzadi semakin mengerdilkan koalisi partai pendukung SBY dan Jusuf Kalla. PDIP, Partai Golkar, dan PPP dari koalisi partai pendukung Megawati menguasai dua pertiga kursi di DPR periode 1999-2004.

Pada 2014, Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa gagal memenangkan Pilpres meskipun diusung oleh koalisi partai yang besar. Koalisi ini terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, PKS, PPP, dan PBB. Tanpa PBB yang bukan partai parlemen, partai-partai tersebut menguasai 48,7% kursi di DPR periode 2009-2014.

Koalisi Besar Hanya Sukses Usung Petahana

Berdasarkan pengalaman, koalisi besar cenderung menang hanya ketika mengusung petahana sebagai calon presiden. Pada 2009, misalnya, SBY dan Boediono memenangkan Pilpres dengan koalisi partai pengusung yang menguasai 47,3% kursi di DPR periode 2004-2009. Koalisi ini terdiri dari Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB.

Pada 2019, koalisi partai yang mengusung Presiden Jokowi juga besar. Koalisi tersebut terdiri dari enam partai parlemen, yaitu PDIP, PKB, PPP, Partai Nasdem, Partai Golkar, dan Partai Hanura. Partai-partai ini menguasai 60,3% kursi di DPR periode 2014-2019.

Reporter: Dzulfiqar Fathur Rahman