Anas Urbaningrum Bebas, Simak Perjalanan Kasusnya

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat Anas Urbaningrum (tengah) bersama Mantan Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto (kanan) dan Mantan Sekretaris Fraksi Partai Golkar Ade Komarudin (kiri) bersiap menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (6/4).
Penulis: Dini Pramita
11/4/2023, 14.29 WIB

Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum bebas dari Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, pada hari ini, Selasa (11/4). Anas mendekam di Lapas Sukamiskin setelah menerima vonis delapan tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider tiga bulan kurungan penjara. Ia didakwa bersalah atas kasus korupsi Wisma Atlet Hambalang.

Sejak terkuaknya kasus korupsi itu, nama Anas Urbaningrum identik dengan Wisma Atlet Hambalang. Sebelumnya, Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) Gede Pasek Suardika mengatakan Anas akan kembali ke dunia politik dan akan buka-bukaan ihwal korupsi yang menjeratnya.

PENYULUHAN ANTIKORUPSI BAGI NAPI TIPIKOR (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.)
 


Berawal dari Korupsi Nazaruddin

Nama Anas Urbaningrum mencuat ke publik dalam kasus korupsi Wisma Atlet Hambalang setelah Nazaruddin 'bernyanyi'. Nazaruddin saat itu telah lebih dulu diincar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dugaan suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang yang melibatkan mantan Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam, dan sejumlah direktur perusahaan yang terlibat dalam pembangunan wisma itu.

Nazaruddin ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus itu sejak 4 Juni 2011, namun melarikan diri ke Singapura sejak 23 Mei 2011 sebelum dicekal oleh KPK. Ia terbukti bersalah karena menerima komisi 13% atau sejumlah Rp25 miliar yang baru diterima sejumlah Rp4,3 miliar.

Nazaruddin ditangkap di Cartagena, Kolombia, pada 6 Agustus 2011 dan menjalani sidang perdana pada 16 November 2011. Dalam nota pembelaan atau eksepsinya, Nazaruddin menyebutkan keterlibatan Anas Urbaningrum dalam korupsi wisma atlet yang lain, Hambalang.

Nazaruddin menyatakan Anas mengatur agar PT Adhi Karya memenangi proyek pembangunan wisma atlet di Bogor, Jawa Barat, itu. "Bapak Anas Urbaningrum yang memutuskan bahwa yang menang di proyek Hambalang adalah PT Adhi Karya, bukan PT DGI (Duta Graha Indah). Yang menyampaikan saat itu adalah Bapak Mahfud Suroso (Direktur Dutasari Citralaras,) yang merupakan teman dekat dari Anas Urbaningrum," ucap Nazaruddin saat membacakan eksepsinya pada 7 Desember 2011.

Ihwal keterlibatan Anas sebagai pengatur proyek Wisma Hambalang bernilai Rp1 triliun itu, Nazaruddin menyebutkan, didasari oleh kebutuhan Anas untuk menyelenggarakan kongres. Saat itu, menurut Nazaruddin, Anas membutuhkan sekitar Rp100 miliar agar dapat terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

Anas lantas mendekati PT DGI, perusahaan milik Nazaruddin. Namun, PT DGI tidak dapat memenuhi 'kebutuhan' Anas saat itu. Anas meminta Nazaruddin mundur karena tidak menyanggupi permintaan fee sebesar Rp50 miliar untuk memenangkan PT DGI.

PT DGI sebelumnya telah mendekati Wafid Muharam dan menyuapnya sebesar Rp20 miliar untuk memenangkan tender Hambalang. Tender akhirnya dimenangkan oleh PT Adhi Karya.

 


Menjadi Incaran Komisi Antirasuah

Nyanyian Nazaruddin mendapatkan perhatian dari KPK. Komisi antirasuah itu serius mendalami dugaan korupsi di sekitar pembangunan Wisma Atlet Hambalang atau Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) dan menetapkan Anas sebagai tersangka pada Februari 2013.

Anas dinyatakan terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp2,21 miliar dari PT Adhi Karya. Selain itu, ada Toyota Harrier seharga Rp670 juta serta gratifikasi lainnya.

Hakim pengadilan tindak pidana korupsi saat itu menyatakan Anas juga terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp25,3 miliar dan US$36 ribu dari Permai Group. Dari Nazaruddin sendiri, hakim menyatakan ia terbukti menerima Rp30 miliar dan US$5,2 juta.

Menurut hakim, gratifikasi dari Permai Group dan Nazaruddin digunakan Anas untuk keperluan kongres Partai Demokrat dan mempermulus pencalonannya sebagai ketua umum. Belakangan, penggunaan uang untuk pencalonan ini dinyatakan tak terbukti oleh majelis hakim pada tingkat peninjauan kembali.

Di pengadilan tipikor, Anas divonis delapan tahun penjara dan diwajibkan membayar denda Rp300 juta subsider kurungan selama tiga bulan. Ia lalu mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan menerima keringanan hukuman menjadi tujuh tahun penjara dan tetap dikenakan denda Rp300 juta subsider kurungan tiga bulan.

Ia lalu mengajukan kasasi pada 2015, tetapi saat itu kasasinya ditolak oleh majelis hakim yang diketuai oleh hakim Artidjo Alkostar. Hukumannya justru diperberat menjadi 14 tahun penjara dengan denda sebesar Rp5 miliar subsider 1,4 tahun kurungan, dan uang pengganti sebesar Rp57,592 miliar kepada negara.

Hakim saat itu memberi catatan uang pengganti wajib dilunasi Anas dalam waktu satu bulan. Jika tak dilunasi dalam kurun waktu tersebut, seluruh kekayaan Anas akan dilelang. Apabila setelah lelang tidak cukup, ia terancam penjara empat tahun.

Selain itu, Anas diberikan hukuman tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam menduduki jabatan publik. Hukuman tambahan ini merupakan permohonan dari jaksa KPK yang diakomodir oleh majelis hakim di tingkat kasasi.

Hukuman yang dijatuhkan majelis hakim itu mendekati tuntutan jaksa KPK pada pengadilan tingkat pertama. Saat itu jaksa menuntut vonis 15 tahun penjara dengan uang pengganti sebesar Rp94 miliar dan US$5,2 juta.

Namun, Anas tetap melawan dan mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Dalam upayanya ini, Anas mendapatkan pengurangan hukuman dari 14 tahun menjadi delapan tahun, sama dengan putusan pengadilan tingkat pertama.

Majelis hakim di tingkat PK saat itu diketuai oleh Sunarto yang menjabat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Agung bidang Non-yudisial. Menurut majelis hakim, ada kesilapan yang dilakukan oleh hakim pada kasasi MA ketika menyimpulkan alat bukti yang dijadikan fakta hukum tentang tindak pidana yang dilakukan Anas.

Adapun yang menjadi pertimbangan saat itu antara lain adalah tak adanya pembuktian segala pengeluaran uang dari perusahaan atas kendali Anas dan berkaitan dengan proses pencalonannya sebagai ketua umum partai. Adapun uang yang didapatkan untuk penggalangan dana pencalonan sebagai ketua umum diperoleh dari para simpatisan Anas.

Meski hukumannya menjadi lebih ringan, Anas tetap tak boleh dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun terhitung sejak menjalani pidana pokok. Selain itu, Anas tetap berkewajiban mengembalikan uang senilai Rp57 miliar dan US$5,2 ribu kepada negara.

Dalam surat perintah penyidikan yang dikeluarkan KPK, Anas dinyatakan tak hanya menerima gratifikasi dari proyek Hambalang saja. Ia disebut menerima berbagai suap dari proyek-proyek lain di berbagai kementerian.

Nama Anas kembali terseret dalam pusaran korupsi e-KTP, ia diduga menerima aliran dana US$5,5 juta yang sebagian mengalir ke kongres Partai Demokrat pada Mei 2010 yang memilih Anas sebagai ketua umum.


Nama-nama yang Mengelilingi Korupsi Hambalang

Korupsi Hambalang tak berhenti pada nama besar Anas Urbaningrum. Setelah Anas, Angelina Sondakh divonis terbukti menerima suap Rp2,5 miliar dan US$1,2 juta dalam pembahasan anggaran untuk Kementerian Pemuda dan Olah Raga serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Angelina Sondakh terbukti bersalah menggunakan jabatannya sebagai Badan Anggaran DPR untuk 'mengawal' nilai anggaran proyek di dua kementerian itu agar sesuai dengan permintaan Permai Group. Ia dituduh Nazaruddin menjadi suruhan Anas untuk membahas berbagai proyek di Kemenpora, terutama proyek di Hambalang, dan menemui Andi Alfian Mallarangeng, mantan Menpora yang juga terseret kasus ini.

Angie, panggilannya, divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp2,5 juta dalam pengadilan tingkat pertama. Vonisnya bertambah menjadi 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta serta kewajiban membayar pengganti sebesar Rp12,58 miliar dan US$2,35 juta di tingkat kasasi.

Sama seperti Anas, hukuman atas korupsi yang dilakukannya berkurang di tingkat PK menjadi 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta tanpa kewajiban membayar uang pengganti. Belakangan setelah bebas, ia membuat pernyataan yang menyiratkan telah melindungi dalang Hambalang yang sebenarnya demi keselamatan anaknya.

Selain Angie, ada pula Andi Mallarangeng yang saat itu menjabat sebagai menpora. Ia divonis bersalah dengan hukuman empat tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider dua bulan penjara.

Saat itu, ia didakwa memperkaya diri sendiri dengan menerima gratifikasi sebesar Rp4 miliar dan US$550 ribu dari proyek Hambalang. Uang itu diterima secara bertahap melalui saudaranya, Andi Zulkarnain Anwar (Choel Mallarangeng) dan sejumlah pejabat di Kemenpora.

Andi berperan sebagai pengatur dalam proses penganggaran dan pengadaan barang dan jasa dalam mega proyek P3SON. Melalui perannya itu, ia didakwa memperkaya sejumlah pejabat dan korporasi sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp463,391 miliar.

Andi menjalani masa penjaranya di Lapas Sukamiskin dan telah ditetapkan berstatus bebas murni pada 19 Juli 2017. Selain Andi dan Angie, Nazaruddin menyebutkan nama-nama lain di antaranya Edhie Baskoro Yudhoyono, namun hingga saat ini tak pernah terbukti meski namanya tertuang dalam dokumen rekap data keuangan PT Anugerah, perusahaan Nazaruddin yang terlibat dalam pusaran kasus ini.