Merri Utami, dari Terpidana Mati Kasus Narkotika hingga Mendapat Grasi

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.
Petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) menata barang bukti berupa ganja dalam rilis pemusnahan barang bukti narkotika ke-2 tahun 2023 di Lapangan Parkir BNN, Jakarta, Selasa (28/3/2023). BNN memusnahkan barang bukti narkotika berupa ganja seberat 757,763 kilogram dan sabu seberat 356,622 kilogram yang merupakan hasil dari empat laporan kasus narkotika yang melibatkan jaringan sindikat nasional maupun internasional dengan tersangka sebanyak 15 orang.
Penulis: Dini Pramita
17/4/2023, 13.23 WIB

Merri Utami, terpidana mati kasus narkotika, mendapatkan pengampunan atau grasi dari Presiden Joko Widodo. Grasi itu ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 1/G/ Tahun 2023 yang ditandatangani pada Kamis (13/03) lalu.

Keppres itu mengubah hukuman Merri dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup. Merri mengajukan grasi sejak 2016 lalu setelah Merri divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang.

BNN MUSNAHKAN 1,1 TON NARKOTIKA (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.)


Dijebak Kekasih

Merri semula adalah pekerja migran di Taiwan. Saat pulang ke Indonesia, ia berkenalan dengan Jerry yang mengaku sebagai warga negara Kanada dan berprofesi sebagai pebisnis.

Kelak, Merri menjalin hubungan asmara dengan Jerry tanpa mengetahui profesi asli Jerry sebagai bandar narkotika internasional. Jerry berhasil meyakinkan Merri untuk menjalin hubungan asmara bahkan berjanji akan menikahi Merri.

Jerry lalu mengajak Merri berlibur ke Nepal pada 16 Oktober 2001 yang disepakati oleh Merri. Merri kemudian berangkat ke Nepal dari Singapura dan sempat singgah di Thailand. Sementara itu, Jerry telah tiba di Nepal terlebih dulu dan menunggu Merri di sana.

Setelah menghabiskan empat hari di Nepal, Jerri mendadak kembali ke Jakarta dengan beralasan ada urusan bisnis yang mendesak untuk segera diselesaikan. Ia meminta Merri tinggal di Nepal selama dua pekan.

Dari Jakarta, Jerry menghubungi Merri dan mengatakan tasnya sudah jelek dan akan diganti dengan tas baru. "Tas kamu sudah jelek, nanti aku suruh temanku bawa tas buat kamu. Tetapi ini tas untuk barang contoh dikasih seorang customer di Jakarta," kata Jerry seperti dikutip dari salinan putusan yang diunggah ke situs resmi Mahkamah Agung, Senin (17/04).

Dua pekan setelah itu, Jerry kembali menghubungi Merri dan mengatakan temannya telah membawa tas yang dimaksud. Jerry mengatur pertemuan antara Merri dengan teman yang dimaksud.

Merri lantas pergi ke sebuah tempat hiburan sesuai arahan Jerri. Di sana, ia bertemu dengan Muhammad dan Badru, dua orang yang disebut 'teman' oleh Jerry.

Dalam pertemuan itu, Merri menerima tas dari keduanya yang disebut-sebut sebagai tas kulit asli. Merri tak tahu di dalam tas itu ada 1,1 kilogram heroin yang disembunyikan pada dinding-dinding tas.

Merri sempat curiga karena tas tangan kulit yang diberikan oleh kedua teman Jerry terasa lebih berat dari tas tangan pada umumnya. Namun saat itu Jerry beralasan tas itu terbuat dari kulit asli yang terbaik dan lebih kuat dari tas pada umumnya sehingga bobotnya pun agak berbeda.

Usai bertemu dengan kedua teman Jerry, Merri kembali ke Indonesia pada 31 Oktober 2001. Ia tiba di Bandara Soekarno-Hatta tanpa mengetahui tengah membawa heroin yang disusupkan ke dalam tas tangannya.

Tiba di bandara, ia melenggang keluar dengan menenteng tas kulit itu. Namun, ia lupa membawa keluar koper miliknya. Karena itu, ia kembali ke dalam bandara dan melewati pemeriksaan x-ray.

Saat melewati x-ray itu diketahui tas kulit yang ia bawa telah dimodifikasi untuk mengangkut heroin. Ia diperiksa petugas bandara.

Saat itu, Merri tak lagi dapat menghubungi Jerri dan kedua temannya di Nepal. Tak ada satu pun yang aktif. Merri baru sadar ia telah diperalat oleh Jerry untuk menjadi kurir tanpa ia ketahui sama sekali.


Divonis Mati hingga Diberi Grasi

Merri kemudian ditahan pada November 2001. Kasusnya disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang sejak 2002. Di sana para hakim memvonis mati Merri pada 20 Mei 2002.

Merri kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandung. Namun, hakim di tingkat banding justru menguatkan putusan PN Tangerang. Putusan banding ini tercatat pada 18 Juli 2002.

Setelah itu, Merri mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun pada 27 Januari 2003 hakim di tingkat kasasi justru meneguhkan hukuman mati untuk Merri.

Merri kemudian mengajukan peninjauan kembali melalui PN Tangerang. Hingga pada 23 Juli 2016, ia dibawa ke Lapas Nusakambangan untuk dieksekusi mati.

Padahal, saat itu Merri belum menerima putusan PK. Meski begitu, proses eksekusi terus dijalankan. Pada 25 Juli 2016, ia dipindahkan ke sel isolasi untuk terpidana mati. Ia ditempatkan di Lapas Batu, Nusamkambangan.

Di hari ia dipindahkan itu, ia baru menerima salinan putusan peninjauan kembali yang ternyata telah diputus dua tahun sebelumnya yaitu 15 Agustus 2014. Pada 26 Juli 2016, Merri mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Joko Widodo melalui PN Tangerang.

Meski tengah memohon grasi, nama Merri masuk dalam daftar yang akan dieksekusi mati pada 29 Juli 2016. Hingga akhirnya proses eksekusi Merri dan 9 terpidana mati lainnya ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

Sejak itu, Merri dipindahkan ke Lapas Cilacap. Ia mendekam selama lima tahun di sana lalu dipindahkan ke Lapas Semarang hingga menerima grasi dari Presiden Jokowi.

Menurut Institute for Criminal Justice Reform, pemberian grasi ini merupakan langkah baru dalam penanganan pidana mati, khususnya untuk kasus narkotika. Menurut catatan ICJR per Maret 2023 ada 101 terpidana mati yang ada dalam masa deret tunggu yang telah lebih dari 10 tahun menunggu eksekusi.