Sejarah Parsel, dari Era Prasejarah, Kerajaan, hingga Era Kolonial

ANTARA FOTO/Ardiansyah/YU
Pekerja menyusun parsel makanan kering yang sudah jadi di industri rumahan Kota Sepang, Bandar Lampung, Lampung, Minggu (2/4/2023). Parsel untuk bingkisan Lebaran yang dijual dengan harga Rp150 ribu hingga Rp2 juta per buah tergantung model serta ukuran itu dipasarkan ke sejumlah daerah di Bandar Lampung.
21/4/2023, 18.14 WIB

Menjelang Idulfitri, masyarakat Indonesia kerap saling mengirimkan bingkisan kepada sanak saudara dan teman terdekat. Bingkisan berisi makanan hingga barang rumah tangga yang dikemas dengan manis ini kerap dikenal dengan nama parsel atau hampers.. Menurut pengamat budaya Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar, tradisi ini sudah ada sejak lama dan tak lepas dari kebudayaan Nusantara di masa lampau.

“Tradisi memberi sesuatu bermula dari persembahan pada Adikodrati atau religi prasejarah,” ujar Agus dilansir dari Antara, Jumat (21/4).

Kelompok masyarakat Indonesia di era prasejarah punya budaya yang sederhana, kata Agus Individu yang tinggal di masa itu tidak atau belum terlepas dari alam Adikodrati dan segala bentuk kekuatan Ilahi. Mereka menganggap kekuasaan tertinggi berada pada Adikodrati selaku pengatur jalannya kehidupan.

Inilah yang menyebabkan masyarakat kala itu senantiasa menjaga keselarasan kehidupan dengan sikap bijaksana dan religius. Perwujudan sikap religius diwujudkan dalam konsep saling memberi. Mulai dari uang religi yang sengaja disishkan bagi kegiataan keagamaan, sedekah, hingga hadiah.

Konsep hadiah tersebut kemudian berkembang, tidak hanya dari segi keagamaan, namun juga dari segi sosial. Pemberian pun terdiri atas upeti atau pajak yang bersifat wajib untuk kepentingan bersama, potlatch alias upara pemberian hadiah, penghargaan, hingga oleh-oleh.

Penjelasan berbeda datang dari sejarawan kuliner Universitas Padjadjaran, Fadly Rahman yang menilai tradisi tersebut berakar dari momen hari raya panen di masa kerajaan abad ke-16. Kala itu, masyarakat mengantarkan hasil buminya setelah panen pada raja. 

“Ketika raja mengadakan pesta panen, biasanya akan membekalkan hasil olahan dan berbagai maca makanan serta kue yang akan dibawa pulang oleh rakyat sendiri,” kata Fadly dikutip dari Antara

Meski kerajaan Nusantara runtuh dan masuk ke masa kolonial, tradisi balas-membalas hantaran Lebaran antarkeluarga tidak redup Biasanya hantaran itu berisi ketupat, opor, kari, rendang, hingga kue basah tradisional yang disajikan dalam rantang. Fadly mengatakan ini adalah kekhasan masyarakat agraris. 

Rantang juga dinilai sebagai simbol perekat hubungan kala dipakai untuk hantaran. “Karena secara spontan masyarakat akan membalasnya. Rasanya malu mengembalikan rantang dalam kondisi kosong, sehingga diisi kembali dengan makanan,” jelasnya. 

Keluarga Eropa era kolonialisme turut merasakan tradisi ini. Biasanya mereka memperoleh kue kering seperti nastar, kaastangel, lidah kucing, dan putri salju yang dikemasl dalam toples. 

Dahulu pemberian hantaran atau parsel ini memang dilakukan secara timbal balik, namun Fadly menilai kini orang sudah biasa mengirim hantaran secara satu arah. Seseorang bisa mengirim parsel untuk menyampaikan rasa terima kasih atau peringatan hari raya tanpa mengharapkan balasan. Ini disebabkan pergeseran makna hantaran yang sudah dikomersialisasi.

Reporter: Amelia Yesidora