Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak di zona hijau pada perdagangan awal pekan ini, setelah jatuh ke zona merah pada Jumat pekan lalu, imbas aksi ambl untung. Saat berita ini ditulis, IHSG berada di level 6.268, atau naik 0,25% dari penutupan perdagangan pekan lalu. IHSG menguat bersama mayoritas indeks saham dunia.
Sepanjang perdagangan pagi ini, IHSG tercatat diperdagangkan dengan level terendah 6.255, dan tertinggi 6.278. Sejauh ini, enam dari 10 indeks sektoral menguat. Penguatan paling besar yakni pada sektor konsumer 0,96%, diikuti infrastruktur 0,39%, dan manufaktur 0,38%.
(Baca: Usai 10 Hari Reli Naik, IHSG Anjlok 1,34% Karena Aksi Ambil Untung)
Meski begitu, investor asing terpantau tidak banyak melakukan pembelian saham. Berdasarkan data RTI, investor asing membukukan pembelian bersih (net foreign buy) Rp 1,18 miliar di keseluruhan pasar. Saham yang paling banyak dibeli asing yakni Telekomunikasi Indonesa (TLKM) Rp 28,39 miliar, diikuti Gudang Garam (GGRM) sebesar Rp 20,3 miliar, dan Perusahaan Gas Negara (PGAS) sebesar R 12,59%.
Mayoritas indeks saham dunia juga tercatat menguat. Indeks saham di bursa AS yang ditutup pagi tadi tercatat menguat. Dow Jones ditutup naik 0,57%, Nasdaq Composite 0,7%, S&P 500 naik 0,41%, NYSE Composite 0,21%, dan S&P/TSX Composite 0,21%. Indeks saham di Eropa juga menguat meski tipis, dengan Euro Stoxx 50 Pr naik 0,09%.
Sedangkan di Asia, seluruh indeks saham utama tercatat menguat. Nikkei 225 dan Topix tercatat naik masing-masing 0,29% dan 0,1%. Sedangkan Hang Seng naik 1,21% dan CSI 300 naik 0,72%. Indeks saham di negara berkembang Asia Pasifik juga menguat, tercermin dari MSCI AC Asia Pacific yang naik 0,12%.
(Baca: Dibuka Menguat, Kurs Rupiah Berpotensi ke Level 13.000 per Dolar AS)
Sebelumnya, Direktur Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan pasar saham masih dipengaruhi sentimen dari kesepakatan dagang AS dan Tiongkok. Pihak Tiongkok menyatakan teks kesepakatan fase pertama sudah selesai. Sedangkan pihak AS menyatakan tanda tangan kesepakatan akan dilakukan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ekonomi Asia Pasifik yang akan dihelat pada 16 - 17 November di Santiago, Chili.
"Namun patut diingat, jangan terlalu banyak berharap karena masih akan terus menghantui sampai kedua belah pihak bersedia untuk menandatangani hitam di atas putih," kata Nico dalam riset tertulisnya.
Ke depan, ia berharap, kedua negara dapat menghasilkan lebih banyak kesepakatan. Menurut Nico, bila kedua negara mencapai kesepakatan di bidang pertanian, maka sentimen positif akan semakin besar.
Di sisi lain, Nico mengatakan, memanasnya hubungan AS dan Thailand disebutnya sebagai hal lain yang dicermati pasar. Presiden AS Donald Trump tengah menangguhkan beberapa preferensi impor dari Thailand atas kekhawatiran tentang hak-hak pekerja.
Langkah ini akan mempengaruhi preferensi perdagangan senilai U$1,3 miliar. Hal ini diakibatkan karena Thailand gagal untuk memberikan kebebasan berserikat dan perundingan. "Tentu saja hal ini menambah hambatan terhadap perekonomian suatu negara yang bergantung terhadap ekspor," ujarnya.
Adapun Thailand tidak tinggal diam. Pemerintah Negeri Gajah Putih tersebut pun mengeluarkan larangan atas beberapa bahan kimia pertanian dari AS. "Semoga tensi yang timbul antara Amerika dan Thailand bisa diselesaikan dengan baik. Sehingga hal ini tidak mempengaruhi sentiment positif lainnya," kata Nico.