PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN akan menerbitkan obligasi global untuk menopang belanja modal (capital expenditure/capex) tahun ini. Adapun, belanja modal yang dibutuhkan PLN sebesar Rp 90 triliun atau sama seperti tahun lalu.
Direktur Keuangan PLN Sarwono Sudarto menjelaskan bahwa belanja modal tahun ini tak hanya berasal dari kas internal tetapi juga obligasi global. Adapun kebanyakan capex dialokasikan untuk pembangunan transmisi dan gardu induk, sedangkan sisanya untuk membangun pembangkit.
"Kan porsinya selalu begini, pembangkit satu, transmisi separuhnya, gardu separuhnya. Kira-kira seperti itu perbandingannya," kata Sarwono, di Jakarta, Jumat malam (22/3).
Nantinya obligasi global akan diterbitkan di Amerika Serikat (AS) atau Eropa. Namun, dia belum bisa memastikan berapa jumlah obligasi global yang akan diterbitkan. Jika kondisi pasar dinilai bagus, maka peruahaannya akan mengambil tenor dalam jangka 10 tahun. "Besarannya tergantung juga pasar. Nanti kami lihat, mungkin 10 tahun ya," kata dia.
(Baca: PLN Targetkan 1 juta Pelanggannya Migrasi ke Meteran Digital Tahun Ini)
Pada Oktober tahun lalu, perusahaan milik negara tersebut juga telah menerbitkan obligasi global senilai US$ 1,5 miliar. Dana dari surat utang itu akan digunakan untuk mendanai kebutuhan investasi dan program 35.000 megawatt (MW).
Global bond tersebut diterbitkan sekaligus dalam mata uang dolar AS dan Euro, dengan rincian US$ 500 juta dengan tenor 10 tahun 3 bulan dan tingkat bunga 5,375%, lalu US$ 500 juta dengan tenor 30 tahun 3 bulan serta tinggat bunga 6,25%. Adapun global bond berdenominasi euro €500 juta dengan tenor 7 tahun dengan bunga 2,875%.
Sementara itu, pada 2017 PLN membukukan laba bersih sebesar Rp 4,42 triliun, turun 45,7% dibandingkan perolehan laba tahun sebelumnya yang mencapai Rp 8,15 triliun. Penurunan Iaba ini disebabkan oleh kenaikan biaya energi. Menurut Sarwono, laba PLN sangat terpengaruh oleh harga energi seperti batu bara, minyak mentah, termasuk pengaruh dari kurs.
Berdasarkan laporan keuangan 2017, total pendatapan usaha PLN tumbuh 14,57 persen menjadi Rp 255,29 triliun. Sedangkan, beban usahanya hanya naik 8,26 persen menjadi Rp 275,47 triliun. Adapun subsidi listrik dari pemerintah tahun lalu hanya sebesar Rp 45,74 triliun, lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp 58 triliun.
(Baca: PLN Akan Pasok Listrik 188 juta VA untuk 4 Pelanggan di Kalimantan)
Kenaikan beban usaha yang lebih rendah dari pertumbuhan pendapatan serta berkurangnya subsidi dari pemerintah ternyata tidak terlalu membuat perolehan laba PLN terlalu anjlok. Laba usaha PLN setelah subsidi tercatat hanya turun 3,24 persen menjadi Rp 25,56 triliun.
Laporan keuangan PLN menunjukan tergerusnya laba PLN 2017 paling besar disebabkan oleh rugi selisih kurs yang mencapai Rp 2,93 triliun. Padahal, tahun sebelumnya PLN masih mendapatkan untung dari selisih kurs ini hingga Rp 4,19 triliun. Sementara itu, untuk kinerja keungan PLN pada periode 2018 dinilai masih positif, namun Sarwono belum bisa menyebutkan nilainya karena masih dalam proses audit oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).