Bank Indonesia (BI) telah memutuskan menurunkan suku bunga BI 7-Days Repo Rate sebanyak 25 basis poin (bps), dari 4,75 persen menjadi 4,5 persen. Kalangan analis menilai keputusan ini bisa menciptakan sentimen positif bagi pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), tapi untuk jangka panjang dikhawatirkan malah akan menahan laju pergerakan saham Indonesia.
Analis Binaartha Sekuritas Reza Priyambada menilai kebijakan penurunan suku bunga menjadi sentimen positif bagi pelaku pasar. Namun, hal ini tidak berdampak signifikan pada pergerakan IHSG, khusunya hari ini, Rabu (23/8). Pada pembukaan perdagangan, IHSG memang sempat melaju dengan menyentuh angka 5.900. Namun, tidak berlangsung lama karena di jeda penutupan perdagangan siang, IHSG hanya berada di level 5.818.
(Baca: Dongkrak Ekonomi, BI Akhirnya Pangkas Bunga Acuan Jadi 4,5%)
"Jadi, biasa saja pergerakannya, masih sama seperti kemarin. (Sektor) tambang masih mendominasi, tidak banyak saham big cap (berkapitalisasi besar) yang masuk top gainer (peringkat atas). Apalagi saham-saham bank, justru didominasi small cap," ujar Reza saat dihubungi Katadata, Jakarta, Rabu (23/8).
Meskipun demikian, dia mengakui kebijakan BI tersebut memang bisa menjadi faktor pendorong laju IHSG dalam waktu dekat, karena sesuai dengan ekspektasi pasar. Namun, ketika laju IHSG sudah semakin tinggi, banyak pelaku pasar yang sudah menunggu untuk mengambil kesempatan melakukan profit taking, dan mulai melakukan aksi jual secara bertahap.
(Baca: Ambil Untung, Investor Asing Jual Saham Rp 12 Triliun dalam 3 Bulan)
"Ya tentunya akan berpengaruh pada jalannya IHSG yang akan bergerak terbatas juga. Jadi, perkiraan banyak kalangan kalau IHSG bakal 'terbang tinggi' atau semacamnya ya belum terjadi," ujar Reza. Tren seperti ini kerap terjadi beberapa tahun terakhir. Banyak analis memperkirakan IHSG akan naik tinggi, tapi pada akhirnya tidak tercapai.
Menurut Reza, pergerakan IHSG tidak bisa diprediksi hanya berdasarkan hitung-hitungan statistik. Perlu juga melihat kondisi pasar rill di lapangan. Karena pergerakannya dipengaruhi oleh sikap dan psikologis pelaku pasar itu sendiri, termasuk pihak yang memiliki dana besar untuk menggerakkan harga.
Sebelumnya, Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI) merasa optimistis laju IHSG sepanjang tahun ini akan menembus 6.000. Alasannya, ekonomi Indonesia secara makro menunjukan kualitas yang baik dan risiko dari luar negeri pun sudah diantisipasi pelaku pasar. Saat ini, IHSG masih bergerak di angka 5.700-5.800. (Baca: Ekonomi Stabil, Asosiasi Analis Optimistis IHSG Tahun Ini Tembus 6.000)
Analis First Asia Capital David Sutyanto menjelaskan perekonomian Indonesia cenderung menunjukan kondisi yang baik. Data makro ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 5,1 persen dan inflasi yang cukup rendah, Produk Domestik Bruto (PDB) terus nai, disertai oleh penurunan tingkat kemiskinan.
Beberapa faktor ini membuat Indonesia akan menarik di mata investor. "Target 2017, di mana IHSG berada di angka 6.000 bisa tercapai," ujar David.
Sementara Analis Investa Saran Mandiri Hans Kwee mengingatkan dampak dari kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) akan sedikit menghambat. Normalisasi neraca akan membuat negara adidaya tersebut berupaya untuk menarik modal warganya di negara lain, kembali ke AS.
Bank Sentral AS The Federal Reserve (The Fed) pun berencana menaikan suku bunga guna menarik kembali dana masuk ke negaranya. Meski begitu, kata Hans, kenaikan suku bunga The Fed sudah dikomunikasikan sejak lama. Sehingga, dampak yang ditimbulkan akan bisa diredam.
Kemudian, perekonomian negara-negara Eropa pun masih belum naik signifikan. Dengan demikian, belum akan berpengaruh besar ke perekonomian Indonesia, terutama ke pasar modal. "Eropa cukup bersahabat. Sedangkan, kebijakan The Fed menaikan suku bunga yang diperkirakan akan terjadi di bulan September sudah diantisipasi pelaku pasar," ujar Hans.