KATADATA ? Perlambatan ekonomi yang menimpa Indonesia turut berimbas kepada sektor properti. Sektor yang pada 2010 sempat berjaya, sudah mulai melambat sejak awal tahun.
Penjualan unit properti (marketing sales) dari emiten anjlok cukup besar pada kuartal I tahun ini. PT Summarecon Agung Tbk mencatat penurunan penjualan hingga 50 persen dibandingkan kuartal I-2014, dan penjualan PT Agung Podomoro Land Tbk turun 31,9 persen. Sementara pra penjualan PT Alam Sutera Tbk juga turun 29 persen.
?Dari hitungan penjualan kami, terlihat hanya Rp 1,1 triliun atau meleset 12 persen dari target kami selama kuartal I,? ujar Vice President Corporate Marketing Agung Podomoro Land Indra W. Antono ketika dihubungi Katadata, Minggu (15/6).
Rendahnya pertumbuhan properti membuat indeks harga saham sektor ini turun. Awal tahun 2015 indeks saham properti pada Bursa Efek Indonesia beada pada level 532,96. Indeks ini sempat naik hingga menyentuh level tertinggi pada akhir Februari ke posisi 580,71. Kinerja sektor properti yang kurang baik membuat indeks sahamnya pun turun, bahkan mencapai 496,91 pada penutupan perdagangan pekan lalu.
Ketua Umum Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Eddy Hussy mengatakan, perlambatan di sektor properti terjadi karena rendahnya daya beli masyarakat, imbas dari kondisi ekonomi saat ini. ?Kami perkirakan kondisi ini berlangsung sepanjang tahun ini, ? kata dia kepada Katadata beberapa waktu lalu.
Selain itu, ada juga dampak dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar. Kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) juga dianggap berdampak pada penundaan rencana ekspansi pengembang pada tahun ini.
Salah satunya suku bunga perbankan yang masih tinggi, yang membuat perusahaan kesulitan mendapat modal. REI juga beranggapan bahwa pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Mewah (PPnBM) bagi rumah di atas Rp 5 miliar akan melemahkan sektor properti pada tahun ini. ?Padahal BI telah menurunkan batas down payment rumah dari 30 persen menjadi 20 persen,? kata Wakil Ketua Umum Rei Djoko Slamet Utomo.
Ketua Umum Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan, penurunan penjualan properti terbesar dialami segmen apartemen dan rumah tapak (landed house) kelas atas (high end) dengan harga di atas Rp 1,5 miliar.
Pantauan IPW, penjualan rumah kelas atas ini di wilayah DKI Jakarta dan Banten hanya berkontribusi sebesar 15 persen dari total penjualan rumah. ?Padahal di penjualan kuartal sebelumnya sektor ini menyumbang 45 persen,? ujar Ali.
Data Bank Indonesia menunjukkan penjualan properti residensial pada kuartal I tahun ini mengalami perlambatan. Penjualan properti tersebut tumbuh hingga 40,07 persen pada kuartal IV-2014, setelah itu turun menjadi 26,62 persen di kuartal I-2015.
Dalam tiga bulan pertama tahun ini, BI mencatat pertumbuhan kredit properti rata-rata 16,7 persen. Lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu yang mencapai 25 persen.
Hingga pertengahan Mei 2015, Bank Rakyat Indonesia (BRI) misalnya, baru menyalurkan KPR sebesar Rp 14,7 triliun. Angka ini tak jauh bergerak dari pencapaian di kuartal I yang tumbuh tipis 2,04 persen atau melambat dari pertumbuhan 4,32 persen di kuartal IV-2014.
Padahal, sepanjang tahun 2014, KPR BRI tumbuh 20,8 persen secara tahunan. Hingga akhir tahun, BRI menargetkan pertumbuhan KPR sebesar 15 persen-17 persen.
Tertolong Segmen Menengah
Di tengah mendungnya penjualan tempat tinggal ini, segmen hunian kelas menengah ternyata membuktikan diri tetap dapat diandalkan pada tahun ini. Kebutuhan perumahan di segmen harga antara Rp 500 juta hingga Rp 2 miliar masih tetap dianggap sebagai kebutuhan primer yang diyakini tidak akan sepi peminat.
Makanya, meski pertumbuhannya melambat, Agung Podomoro masih tetap bisa mengantisipasi perlambatan ini dengan fokus bermain di segmen menengah. Segmen menengah dianggap masih bisa berkontribusi besar terhadap penjualan properti perseroan, demi mengejar target pertumbuhan penjualan tahun ini sebesar 10 persen.
?Kontribusi (sektor menengah) kami targetkan hingga 70 persen. Terutama untuk market test di segmen Rp 500 juta,? kata dia. Pengembangkan hunian vertikal untuk segmen menengah ini, salah satunya dengan mengandalkan proyek Podomoro Park seluas 12 hektare di jalan Ngurah Rai, Jakarta Timur.
Dosen yang juga peneliti di bidang perencanaan kota dan pengembangan real estate Universitas Tarumanagara Meyriana Kesuma mengatakan, segmen kelas menengah akan menjadi penolong para pengembang menghadapi ketidakpastian usaha saat ini. Apalagi kurang pasok (backlog) perumahan di segmen ini sangat besar, mencapai 15 juta unit rumah.
Ali Tranghanda menyebut pada kuartal I -015, properti segmen Rp 500 juta?Rp 1,5 miliar, berkontribusi hingga 45 persen total penjualan. Pada kuartal IV tahun lalu, kontribusinya hanya 30 persen. Segmen Rp 500 juta ke bawah juga naik dari 25 persen menjadi 40 persen di kuartal I ini.
?Tren ini terjadi karena kejenuhan segmen high end (atas) yang didominasi investor,? kata Ali.
Pemerintah juga melakukan upaya untuk menggairahkan penjualan properti tahun ini, dengan melonggarkan aturan. Salah satunya dengan kebijakan untuk membolehkan warga negara asing (WNA) memiliki apartemen. WNA bisa diandalkan untuk menyerap pasar properti, di tengah penjualan pasar domestik yang sedang lemah.
Sementara BI sudah menyiapkan rencana untuk memperlonggar kebijakan uang muka (loan to value/LTV). BI berencana menurunkan uang muka pembelian rumah pertama menjadi 10 persen dari harga jual rumah. Sebelumnya, batas minimal persekot tersebut sebesar 30 persen.
Pelonggaran uang muka ini diharapkan akan mampu menambah penyaluran kredit barang konsumsi hingga Rp 80 triliun pada tahun ini. Kebijakan ini juga akan mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 0,1 persen-0,2 persen.
?Di negara tetangga kita, sektor properti ini adalah instrumen bagi pertumbuhan ekonomi juga,? ujar Djoko.
Baru Akan Membaik pada 2017
Lesunya usaha properti ini diperkirakan masih terus terjadi hingga tahun depan. Sektor ini baru akan membaik pada 2017, seiring membaiknya kondisi ekonomi makro Indonesia dan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
?Dinamika sektor ini selalu berbanding lurus dengan kondisi ekonomi, hanya selisih waktunya saja berbeda 6 bulan sampai setahun,? kata Meyriana.
Djoko menyebut ada semacam siklus tujuh tahunan yang terjadi pada sektor properti. Setelah naik tinggi, pertumbuhan properti akan melambat, bahkan turun dalam rentang waktu tujuh tahun. Setelah itu ini akan kembali bangkit dengan pertumbuhan yang sangat besar.
Meski demikian, tetap butuh dukungan dari pemerintah dan BI agar sektor ini bisa terus tumbuh. Dukungan ini dapat berupa pembangunan infrastruktur untuk membuka akses lahan, suku bunga perbankan yang bisa terjangkau, hingga relaksasi pajak bagi sektor properti ini.
?Terutama untuk sektor perbankan agar segera merespon dan tidak menunggu KPR terlalu panas,? kata Indra.