IPO Blibli (BELI) di Ambang Resesi, Bisa Ulang Sejarah GOTO dan BUKA?

Tangkapan Layar YouTube Blibli.com
Blibli dengan kode ticker BELI ini berencana menerbitkan sebanyak-banyaknya 17.771.205.900 saham atau setara 15% saham dengan harga penawaran awal Rp 410 sampai dengan Rp 460 per sahamnya.
19/10/2022, 06.02 WIB

PT Global Niaga Digital Tbk atau dikenal dengan Blibli mengumumkan pelaksanaan Initial Public Offering (IPO) di tengah bayangan resesi yang mengintai dunia. Sesuai rencana emiten dengan kode ticker BELI itu akan memulai IPO pada November mendatang. 

CEO Blibli Kusumo Martanto mengungkap dirinya optimistis perekonomian Indonesia akan lebih resisten menahan dampak resesi global, dibandingkan negara lainnya. Selain itu, indeks keyakinan konsumen dan Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia pun dalam kondisi baik dan akan terus berkembang.

"Kita beruntung karena tinggal di Indonesia. Dari data yang ada, Indonesia masih menjadi negara yang paling baik dari segi pertumbuhan ekonomi," ujar Kusumo dalam paparan publik Blibli di Jakarta, Selasa (18/10).

Kusumo mengutip hasil survei Euromonitor dan Frost & Sullivan yang memperkirakan pasar industri barang konsumsi Indonesia bakal tumbuh hingga US$ 436 miliar pada 2025 mendatang. Pangsa pasar ini jauh bertumbuh dibandingkan pada 2020 lalu yang hanya senilai US$ 257 miliar. 

Lebih lanjut, Kusumo memaparkan porsi masing-masing unit usahanya dalam pangsa pasar senilai US$ 436 miliar tersebut, Blibli bisa meraup US$ 150 miliar, Tiket.com senilai US$ 41 miliar, dan Ranch Market di angka US$ 245 miliar. 

“Ini sekitar sepertiga PDB Indonesia saat ini, sebuah potensi yang luar biasa. Kita memilih mempunyai model bisnis yang berkelanjutan dan potensinya juga besar,” kata Kusumo.

Sistem bisnis omnichannel juga diklaim menjadi keunikan sekaligus kekuatan bagi Blibli. Penggabungan tiga jenis usaha, dari e-commerce yakni Blibli, agen perjalanan online tiket.com, serta ritel luring Ranch Market ke dalam satu ekosistem perusahaan bernama Global Digital Niaga adalah salah satu pendorongnya.

“Tiga ini digabung menjalankan omnichannel dengan sinergi yang tinggi. Itu kita lihat akan jadi perusahaan teknologi besar di indonesia yang akan berkelanjutan dan berlaba positif dalam waktu singkat," kata CEO Tiket.com George Hendrata dalam paparan publik, Selasa (18/10).

Dalam penawaran perdana ini, Blibli akan melepas 17,77 miliar saham atau setara 15% dari modal ditempatkan dan disetor perusahaan. Dengan harga penawaran perdana senilai Rp 410 hingga Rp 460 per lembar saham, Blibli akan menghimpun dana segar di rentang Rp 7,28 triliun hingga Rp 8,17 triliun. Nilai tersebut mengantarkan anak usaha Djarum ini menjadi emiten dengan penghimpunan dana terbesar di pasar modal Tanah Air, setelah Gojek-Tokopedia (GOTO) yang memiliki nilai IPO Rp 13,7 triliun pada April lalu.  

Sebelum IPO, pemegang saham utama perusahaan ini adalah Grup Djarum melalui PT Global Investama Andalan dengan porsi 98,4%. Setelah proses IPO selesai, kepemilikan saham Grup Djarum akan berkurang menjadi 83,69%. Sebanyak 15% porsi saham milik publik ini akan diambil dari porsi Global Investama Andalan serta pemegang saham individu, seperti Kusumo Martanto selaku CEO Blibli, Honky Harjo, Lisa Widodo, Hendry, dan Andy Utomo. 

Meski porsi kepemilikan Djarum akan berkurang, Corporate Secretary and Investor Relations Blibli, Eric Alamsjah Winarta, menegaskan bahwa perusahaan induk tidak akan keluar dari kepemilikan Blibli pasca IPO. Ia mencontohkan kiprah Djarum di dua anak usaha yang sudah lebih dulu terdaftar di BEI, yakni Bank Central Asia (BBCA) dan Sarana Menara Nusantara (TOWR), tetap memiliki kinerja yang baik di pasar modal.

“Mereka tetap mendukung kami kedepannya, tidak akan sama sekali exit setelah IPO. karena investornya saat ini hanya Djarum, mungkin hanya kepemilikannya yang akan turun sedikit,” jelas Eric dalam paparan publik Selasa (18/10). 

Merujuk pada prospektus perseroan, lebih dari setengah dana IPO ini akan digunakan untuk membayar fasilitas utang ke Bank BCA dan BTPN, tepatnya senilai Rp 5,5 triliun atau 67% dari total dana IPO. Adapun utang dengan Bank BCA akan jatuh tempo pada Oktober 2023 dan dengan BTPN pada September 2023. Setelah membayar utang, sisa dana IPO akan digunakan untuk modal kerja perusahaan. 

Rencana penggunaan dana IPO ini dikomentari analis pasar modal Kanaka Hita Solvera, Andhika Cipta Labora, sebagai rencana yang kurang baik. Menurut Andhika, dana IPO seharusnya digunakan untuk ekspansi bisnis, bukannya untuk membayar utang bahkan kepada pihak yang berada dalam satu naungan perusahaan, yakni BCA. Adanya Djarum Group di belakang BCA dan Blibli pun ia nilai bisa membantu kinerja perusahaan dan mengurangi risiko kegagalan bayar utang oleh Blibli.

“Tapi pembayaran utang ini bisa membuat beban bunga utang berkurang, sehingga laba bersih bisa meningkat,” ujar Andhika pada Katadata, Selasa (18/10).

Di sisi lain, kinerja perusahaan masih mencatatkan rugi sebesar Rp 2,48 triliun hingga Juni 2022. Angka ini bahkan meningkat tajam dari rugi pada periode yang sama di tahun sebelumnya, senilai Rp 1,18 triliun. Dari segi pendapatan dan beban, Blibli juga mengalami peningkatan signifikan. Dalam prospektus tertulis adanya peningkatan pendapatan sebesar 123% dari Rp 2,99 triliun pada Juni 2021 menjadi Rp 6,71 triliun pada Juni 2022. Sementara beban pokok meningkat 121% dari Rp 2,77 triliun menjadi Rp 6,15 triliun. 

 Dalam catatan Katadata, kinerja keuangan yang masih merugi ini juga dialami oleh dua perusahaan teknologi yang lebih dulu melantai di Bursa Efek Indonesia, yakni GOTO dan BUKA. Hingga September tahun lalu, GOTO masih merugi Rp 11,58 triliun, bahkan secara kumulatif kerugian perseroan mencapai angka Rp 67 triliun. BUKA pun demikian, masih merugi Rp 1,34 triliun sebelum melantai April lalu.

Di tengah kinerja perusahaan dan rencana IPO Blibli tersebut, Andhika menilai bahwa pasar akan cenderung membandingkan saham BELI dengan dua perusahaan teknologi yang sudah lebih dulu melantai, yakni GOTO dan BUKA. Ia menjelaskan ada kemungkinan BELI mengulang sejarah GOTO dan BUKA yang harga sahamnya melejit pada awal IPO, namun merosot drastis pasca IPO.

“Jadi pelaku pasar akan berhati-hati di pasar teknologi. Baiknya investor melakukan strategi jangka pendek terlebih dahulu di BELI, karena sedang ada ketidakpastian ekonomi global,” jelasnya.

Reporter: Amelia Yesidora