Valuasi Saham di Bursa Cina dan Hong Kong sudah Tergerus US$6 Triliun

ANTARA FOTO/REUTERS/Aly Song
Selama tiga tahun terakhir, valuasi saham-saham di Bursa Cina dan Hong Kong telah terhapus sekitar US$6 triliun, setara dengan dua kali lipat output ekonomi tahunan Inggris.
Penulis: Hari Widowati
24/1/2024, 16.16 WIB

Saham-saham Tiongkok tidak hanya mengalami awal yang buruk di tahun 2024. Selama tiga tahun terakhir, valuasi saham-saham di Bursa Cina dan Hong Kong telah terhapus sekitar US$6 triliun, setara dengan dua kali lipat output ekonomi tahunan Inggris.

Indeks Hang Seng telah jatuh 10% sepanjang tahun ini. Sementara itu, indeks Shanghai Composite dan Shenzhen Component masing-masing turun 7% dan 10%.

Analisis CNN menyebut kerugian yang mencengangkan ini mengingatkan pada kejatuhan pasar saham Cina yang terakhir kali terjadi pada 2015-2016. Hal ini menimbulkan krisis kepercayaan di antara para investor yang mengkhawatirkan masa depan negara ini.

"Tiga tahun terakhir tidak diragukan lagi merupakan periode yang menantang dan membuat frustrasi bagi para investor dan pelaku pasar di saham-saham Cina," tulis analis Goldman Sachs dalam sebuah catatan riset, pada Selasa (23/1).

Menurutnya, saham-saham di Bursa Cina saat ini diperdagangkan pada valuasi yang tertekan dan alokasi terendah dalam satu dekade terakhir di seluruh mandat dana investasi.

Perekonomian terbesar kedua di dunia ini dilanda banyak sekali masalah. Masalah-masalah tersebut termasuk rekor penurunan di sektor real estat, deflasi, utang, penurunan angka kelahiran, dan penyusutan tenaga kerja. Selain itu, ada pergeseran ke arah kebijakan-kebijakan berbasis ideologi yang mengguncang sektor swasta dan membuat perusahaan-perusahaan asing takut.

Kehancuran saham telah membuat bursa Cina menjadi pasar-pasar dengan kinerja terburuk di dunia sepanjang tahun ini. Semua ini terjadi di tengah-tengah reli pasar saham global, yang dipimpin oleh Wall Street yang mencetak rekor, dan Bursa Jepang di Asia.

Ada tanda-tanda bahwa pemerintah Tiongkok mulai khawatir. Awal pekan ini, Reuters melaporkan bahwa Beijing meminta bank-bank untuk menjual dolar Amerika Serikat (AS) untuk menopang yuan. Bloomberg juga melaporkan bahwa pemerintah Cina sedang bersiap-siap untuk melakukan intervensi secara langsung untuk mendukung saham-saham, pada Selasa (23/1).

Perdana Menteri Cina Li Qiang memerintahkan para pejabat untuk mengambil "langkah-langkah yang kuat dan efektif" untuk menstabilkan pasar, pada Senin (22/1). Namun, bisakah kepercayaan investor dipulihkan?

Apa yang Menyebabkan Krisis di Bursa Cina?

Para investor khawatir akan kurangnya kebijakan yang efektif dari Beijing untuk memicu pemulihan ekonomi yang berkelanjutan. Ekonomi Cina tumbuh 5,2% pada tahun 2023. Itu adalah laju ekspansi paling lambat sejak 1990, dengan pengecualian tiga tahun pandemi hingga 2022.

Para ekonom internasional secara luas memperkirakan pertumbuhan negara tersebut akan melambat lebih lanjut tahun ini menjadi sekitar 4,5% dan turun di bawah 4% dalam jangka menengah. Meskipun angka tersebut mungkin terlihat masuk akal untuk sebuah negara dengan ekonomi besar, angka tersebut jauh di bawah pertumbuhan dua digit Cina dalam beberapa dekade terakhir.

Menurut para analis, Cina mungkin akan mengalami stagnasi selama beberapa dekade ke depan karena perlambatan ini bersifat struktural dan tidak akan mudah untuk dibalikkan. "Ada kebingungan yang semakin meningkat mengenai sikap kebijakan Beijing terhadap ekonomi," kata para analis Nomura dalam risetnya, pada Senin (22/1).

"Bank sentral tidak melakukan pemangkasan suku bunga acuan yang diharapkan minggu lalu. Komentar-komentar para pejabat tinggi menunjukkan bahwa Beijing enggan untuk mencari pertumbuhan jangka pendek dengan mengorbankan peningkatan risiko-risiko jangka panjang," tambah mereka.

Minggu lalu, Bank Sentral Cina (PBOC) mempertahankan suku bunga fasilitas pinjaman jangka menengahnya tetap stabil. Hal ini berlawanan dengan ekspektasi pasar bahwa bank sentral akan melakukan pemangkasan untuk pertama kalinya sejak bulan Agustus.

Pada Senin lalu, bank sentral juga mempertahankan Suku Bunga Acuan Pinjaman. Hal ini memupus harapan pasar akan adanya pemangkasan suku bunga.

Kebijakan Makro Beijing Tidak Sesuai Ekspektasi Pasar

Selama setahun terakhir, pemerintah Cina telah meluncurkan kebijakan-kebijakan untuk mendorong pemulihan ekonomi secara bertahap. Namun, menurut para analis Goldman Sachs, hal ini tidaklah cukup.

"Pelonggaran kebijakan makro konvensional sejauh ini tidak sesuai dengan ekspektasi investor. Pergeseran dalam pedoman pelonggaran sedikit demi sedikit ke pendekatan yang lebih agresif dan besar mungkin diperlukan untuk membalikkan narasi negatif di pasar," ujar analis Goldman Sachs.

Secara khusus, dukungan pemerintah yang efektif untuk menopang para pengembang properti yang gagal dan untuk merangsang permintaan akan perumahan diperlukan untuk menyelesaikan krisis real estat saat ini. Krisis di sektor real estat ini merupakan inti dari banyak masalah ekonomi Tiongkok.

Para investor juga prihatin dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang membayangi masa depan Cina. "Komitmen Beijing untuk melakukan reformasi telah dipertanyakan," kata analis Goldman Sachs.

Mereka menambahkan bahwa kekhawatiran ini dipicu oleh tindakan keras Beijing terhadap perusahaan-perusahaan teknologi raksasa dengan penekanan pada keamanan nasional, dan meningkatnya dominasi sektor negara di industri-industri utama. "Ketidakpastian kebijakan ini telah mengurangi minat investasi."

Selain itu, ketegangan AS-Cina telah memaksa para investor AS untuk "secara signifikan" mengurangi eksposur dan kepemilikan mereka pada saham-saham di negara Xi Jinping itu.

Apa yang Dilakukan Pemerintah Cina terhadap Kejatuhan Pasar Saham Ini?

Menurut Xinhua, Perdana Menteri Li dalam rapat kabinet Senin lalu telah bersumpah untuk mengambil tindakan untuk mendorong pasar saham dan meningkatkan likuiditas. Namun, tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai tindakan-tindakan apa saja yang akan diambil.

Namun, pada hari yang sama, Reuters menyebut bank-bank besar milik negara bergerak untuk mendukung yuan, untuk mencegah mata uang ini jatuh lebih dalam karena terseret kejatuhan saham-saham di bursa. 

Sebuah laporan Bloomberg mengatakan bahwa pemerintah Cina sedang mempertimbangkan untuk melakukan intervensi secara lebih langsung dengan memobilisasi sekitar 2 triliun yuan (US$282 miliar) sebagai bagian dari dana stabilisasi pasar saham. Langkah ini terutama dilakukan dengan menggunakan akun-akun di luar negeri dari perusahaan-perusahaan BUMN Cina.

Bloomberg juga melaporkan bahwa dana ini akan membeli saham-saham yang terdaftar di daratan Tiongkok melalui bursa saham Hong Kong. Pemerintah juga telah mengalokasikan setidaknya 300 miliar yuan ($42 miliar) dana lokal untuk berinvestasi di saham-saham yang ada di bursa Cina dan Hong Kong.

"Jika rumor ini terbukti benar, program pembelian aset dapat menghasilkan arus pembelian [yuan] dalam jumlah yang signifikan," ujar Ken Cheung, Kepala Strategi FX Asia untuk Mizuho Bank.

Ia juga percaya bahwa PBOC memutuskan untuk tidak memangkas suku bunga untuk mencegah yuan terdepresiasi lebih lanjut.

Laporan Bloomberg  itu cukup untuk menahan penurunan lebih lanjut pada hari Selasa. Indeks Hang Seng ditutup menguat 2,6% sedangkan Shanghai Composite naik 0,5%.

Ilustrasi Saham (Pexels)

Publik Minta Pemerintah Turun Tangan

Penurunan pasar saham telah memicu kemarahan publik di media sosial Cina. Banyak orang meminta regulator untuk mengambil langkah-langkah efektif untuk membendung penurunan.

Menurut data resmi, lebih dari 220 juta orang berinvestasi di pasar saham Cina. Orang-orang tersebut menyumbang 99% dari total basis investor.

Topik-topik yang berkaitan dengan "kejatuhan pasar" dan "penyelamatan pasar saham Tiongkok" menjadi tren di Weibo pada Selasa (24/1).

Bahkan, para influencer terkemuka yang biasanya tidak mengeluarkan pernyataan resmi pun mendesak Beijing untuk segera mengambil tindakan untuk menyelamatkan para investor kecil. "Saya sedih dengan performa pasar saham hari ini," Hu Xijin, mantan pemimpin redaksi surat kabar pemerintah Global Times, menulis di Weibo pada hari Senin.

Menurutnya, dampak dari penurunan pasar saham yang terus-menerus telah melampaui pasar modal, dan memiliki dampak negatif pada kepercayaan pada keseluruhan ekonomi dan kepercayaan sosial yang komprehensif. "Saya pribadi percaya bahwa ini adalah masalah mendesak yang perlu ditangani untuk mencegah risiko keuangan dan meningkatkan kepercayaan sosial," ujarnya.

Hu mengatakan bahwa ia telah mengalami kerugian total lebih dari 70.000 yuan (US$9.857 atau sekitar Rp 155 juta) sejak ia mulai berinvestasi di pasar saham pada bulan Juni lalu.