OJK Ungkap Dampak Daya Beli Turun pada Multifinance dan P2P Lending

Fauza Syahputra|Katadata
Seorang pegawai berjalan di dalam gedung Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
9/9/2024, 14.29 WIB

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap penurunan daya beli masyarakat yang terus berlanjut menjadi tantangan signifikan bagi industri keuangan di Indonesia.

Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK, Agusman menjelaskan, data pertumbuhan piutang pembiayaan Perusahaan Pembiayaan (PP) pada Juli 2024 mengalami pertumbuhan sebesar 10,53% yoy menjadi Rp 494,10 triliun.

Pada industri fintech P2P lending, outstanding pembiayaan pada Juli 2024 meningkat menjadi 23,97% yoy, dengan nominal sebesar Rp 69,39 triliun.

"Trend pertumbuhan pembiayaan yang tetap terjaga memberikan sinyal bahwa industri multifinance dan fintech P2P lending memiliki kemampuan dalam memitigasi risiko penurunan daya beli masyarakat sehingga diperkirakan pembiayaan oleh multifinance dan fintech P2P lending dapat melanjutkan pertumbuhan," jelas dia dalam keterangan resmi dikutip Senin (9/9).

Daya Beli Kelas Menengah Turun

Sementara itu, Indonesia mengalami deflasi selama empat bulan berturut-turut, kondisi ini terjadi di tengah penurunan kelompok kelas menengah sejak pandemi COVID-19. Direktur Eksekutif Center for Economic Reform (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, menjelaskan deflasi berkelanjutan ini disebabkan oleh penurunan permintaan, konsumsi, dan daya beli masyarakat, berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

“Karena kan ekonomi kita 56% dibentuk oleh konsumsi rumah tangga,” kata Faisal kepada Katadata.co.id, Rabu (4/9).

Ia menyebut konsumsi rumah tangga Indonesia saat ini di bawah kondisi 2022 yang pertumbuhannya berada di kisaran 5%. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga Indonesia pada 2024 hanya mencapai 4,9% pada kuartal I dan II.

“Jadi ini memang lebih lambat sekarang konsumsi rumah tangganya dan itu diantaranya disebabkan penurunan daya beli yang terefleksikan dan diindikasikan dari adanya deflasi selama empat bulan berturut ini,” ujar Faisal.

Ia menjelaskan, deflasi yang terjadi sebenarnya tak selalu berarti baik buruk. Hal tersebut tergantung pada penyebabnya. Menurut dia, deflasi berarti buruk bagi perekonomian jika disebabkan penurunan permintaan. Adapun deflasi berarti baik jika konsumsi masyarakat kuat, pendapatan masyarakat meningkat, dan kemampuan belanjanya juga naik.

Kondisi tersebut terjadi jika permintaan meningkat lalu diikuti dengan ketersediaan barang yang cukup sehingga harga barang terkendali atau bisa mengalami penurunan.

“Nah ini kan menjadi ciri khas deflasi, harga barang-barang justru cenderung turun. Turunnya bukan karena kemampuan untuk mengendalikan harga barang atau kemudian meningkatkan produksi. Ini lebih kepada karena kemampuan membeli konsumennya,” kata Faisal.

Reporter: Selfie Miftahul Jannah