Isu perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok terus memanas. Kini, isu tersebut meluas menjadi perang mata uang (currency war). Pihak AS menuding Tiongkok sengaja memanipulasi nilai tukar mata uangnya, yuan, agar produk-produknya bisa laris di AS.
Hari ini (6/8) kurs yuan terhadap dolar AS masih melemah hingga 1,5 persen ke level 7. Mata uang Tiongkok hampir menyentuh titik terendah sejak 2008. "Tiongkok menjatuhkan nilai mata uangnya ke titik yang hampir terlemah sepanjang sejarah. Ini disebut manipulasi kurs. Apakah Anda mendengar ini, Federal Reserve? Pelanggaran besar ini justru akan melemahkan Tiongkok," kata Presiden AS Donald Trump dalam cuitannya di Twitter, Senin (5/8).
Menurut Trump, Tiongkok sengaja memanipulasi mata uangnya untuk mencuri bisnis AS, mengganggu terciptanya lapangan kerja di negara tersebut, hingga menekan upah pekerja dan mengganggu pendapatan petani AS. "Tiongkok bertekad untuk mengambil ratusan miliar dolar dari AS dengan praktik perdagangan yang tidak adil dan manipulasi mata uang. Ini hanya menguntungkan satu pihak dan seharusnya dihentikan bertahun-tahun lalu," ujarnya.
(Baca: Perang Dagang AS-Tiongkok Berpotensi Menuju Perang Mata Uang)
Seolah membantah Trump, Bank Sentral Tiongkok mengatakan pelemahan yuan mencerminkan kekhawatiran pasar tentang proteksionisme perdagangan dan tarif baru dengan Tiongkok. Ini merespons langkah yang akan dilakukan Trump terhadap Tiongkok, yang berdampak pada meningkatnya tensi perang dagang kedua negara.
Trump mengumumkan rencana AS mengenakan pajak hampir pada setiap ekspor produk Tiongkok. Namun, dengan membiarkan yuan melemah ke level terendah dalam satu dekade terakhir, Tiongkok memberikan sinyal jelas: Mereka siap menggunakan mata uangnya sebagai senjata dalam perang dagang dengan Washington.
Perang mata uang antara AS dan Tiongkok sekarang ini bukan yang pertama terjadi. Pada 2010, Presiden AS Barack Obama juga sempat menuding Tiongkok melakukan manipulasi nilai mata uangnya. Dia meminta Tiongkok menghentikan manipulasi ini, karena dapat mendorong harga produk AS membengkak, sementara produk Tiongkok mengalami deflasi. "Apalagi hal itu dilakukan secara rekayasa," kata Obama.
Tak hanya Tiongkok, perang mata uang meluas hingga ke negara-negara lain. Saat AS mengalami krisis keuangan pada 2008, muncul kekhawatiran di kalangan negara-negara maju terkait semakin besarnya defisit perdagangan mereka. Sama dengan negara-negara berkembang, negara maju memandang ekspor sebagai strategi ideal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
(Baca: Perang Mata Uang, Yuan Jadi Senjata Tiongkok Lawan Trump)
Pada Maret 2009, Ted Truman yang pertama memperingatkan bahaya perang mata uang meletus. Peringatan ini terbukti, sebagian negara-negara dunia berkompetisi melemahkan mata uangnya. Pada 27 September 2010, Menteri Keuangan Brasil Guido Mantega mengatakan kondisi dunia di tengah-tengah perang mata uang internasional.
Mantega merujuk pada langkah berbagai negara yang berusaha mendevaluasi nilai tukar mereka, termasuk Tiongkok, Jepang, Kolombia, Israel dan Swiss. Sebulan kemudian diskusi tentang perang mata uang dan ketidakseimbangan ekonomi dunia mendominasi pembahasan para kepala negara di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20.
Terimbas Depresiasi Yuan, Rupiah dan Mata Uang Asia Melemah
Sejarah Perang Mata Uang Dunia Tak Lepas dari Krisis AS
Perang mata uang adalah kondisi ekonomi dunia, di mana negara-negara besar bersaing melemahkan nilai mata uangnya ke level terendah. Hal ini dilakukan agar produk-produk yang mereka hasilkan bisa laku terjual di negara lain. Dalam sejarah dunia, perang mata uang ini sudah pernah terjadi 90 tahun lalu.
Kejatuhan bursa saham New York pada 24 Oktober 1929 hingga puncak terparahnya pada 29 Oktober 1929, memicu keruntuhan perekonomian Amerika Serikat. Padahal, sebelumnya perekonomian negara ini tumbuh pesat, kekayaan negara meningkat lebih dari dua kali lipat. Inilah masa kemakmuran ekonomi di AS dan Eropa Barat atau disebut sebagai The Roaring Twenties.
(Baca: Tiongkok Picu Perang Mata Uang, Rupiah Loyo ke 14.276 per Dolar AS)
Depresi ekonomi AS pun menyebar hingga menghancurkan ekonomi negara industri maupun negara berkembang. Volume perdagangan internasional berkurang drastis, diikuti penurunan pendapatan masyarakat, pajak, harga-harga barang.
Kota-kota besar di seluruh dunia terpukul, terutama yang pendapatannya bergantung pada industri berat. Pembangunan gedung-gedung terhenti, sedangkan di desa, harga produk pertanian anjlok 40-60 persen. Begitu pula dengan sektor primer lain seperti pertambangan dan perhutanan.
Inilah awal mula dari depresi besar (Great Depression) yang lazim dikenal sebagai Zaman Malaise, zaman ketika perekonomian dunia mengalami kesulitan. Saat itu, beberapa negara meninggalkan standar emas dalam perdagangan dan menggantinya ke mata uang mereka sendiri. Banyak dari negara-negara sengaja melemahkan mata uangnya demi merangsang ekonomi.