PT Bank QNB Indonesia Tbk (BKSW) menjual kredit bermasalah senilai Rp 1,23 triliun kepada BDFK Limited, perusahaan afiliasi yang berada di Cayman Islands. Aksi korporasi ini akan memperbaiki rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) perseroan, di mana NPL gross akan turun dari 4,16% menjadi 2,61% dan NPL nett akan turun dari 2,61% menjadi 1,96%.
Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), manajemen Bank QNB Indonesia mengatakan, pada 1 Desember 2018 perseroan dan BDFK telah menandatangani perjanjian untuk menjual dan mengalihkan piutang 16 debitur kepada BDFK. Dalam perjanjian tersebut, BDFK akan membayar kredit bermasalah tersebut dengan opsi pembayaran tunai senilai US$ 16,92 juta atau sekitar Rp 245,31 miliar. Sisanya dibayar dengan obligasi dalam denominasi rupiah dan dolar Amerika Serikat (AS).
Obligasi dalam rupiah akan diterbitkan oleh PT Amro Indonesia senilai Rp 742,59 miliar dengan tenor 5 tahun dan bunga 7,9% per tahun. Adapun obligasi dalam dolar AS diterbitkan oleh BDFK Ltd senilai US$ 16,45 juta atau setara Rp 238,49 miliar, dengan tenor 5 tahun dan bunga 4,5% per tahun.
Perseroan dan BDFK merupakan perusahaan yang terafiliasi. Pasalnya, Qatar National Bank (QNB) yang merupakan pemegang saham pengendali Bank QNB Indonesia dengan kepemilikan saham 92,48% akan menerbitkan Standby Letter of Credit (SBLC) senilai US$ 67,67 juta untuk menjamin pembayaran obligasi yang diterbitkan BFDK dan PT Amro Indonesia.
(Baca: OJK Diminta Perketat Pengawasan Industri Keuangan)
SBLC adalah jaminan tunai yang diterbitkan oleh prime bank, yang memiliki sifat tanpa syarat dan tidak dapat dibatalkan yang digunakan untuk menjamin obligasi. "Obligasi yang diserahkan pembeli kepada perseroan memiliki risiko gagal bayar. Oleh karena itu, QNB sebagai prime bank menerbitkan SBLC sebagai jaminan tunai atas pembayaran obligasi tersebut," kata manajemen dalam keterbukaan informasi.
Kantor Jasa Penilai Perusahaan (KJPP) Toha, Okky, Heru, dan Rekan menyatakan, analisis kewajaran transaksi dilakukan dengan membandingkan nilai rencana transaksi yang disebutkan dalam Perjanjian Jual Beli Piutang Atas Nilai Outstanding Kredit dengan Laporan Penilaian Aset dan Nilai Wajar Kredit. "Berdasarkan analisis di atas, nilai transaksi adalah tidak wajar karena 122,22% di atas nilai wajar kredit," kata KJPP Toha, Okky, Heru, dan Rekan. Berdasarkan Peraturan Bapepam-LK No VIII.C.3, transaksi dinilai wajar jika nilainya tidak melebihi 7,5% di atas nilai wajar kredit.
Manajemen perseroan mengatakan, walaupun nilai transaksi tidak wajar, penjualan NPL dan kredit berkualitas rendah pada nilai buku (at par) ini tidak merugikan pemegang saham minoritas dan deposan. Transaksi ini juga dinilai akan meningkatkan kinerja perusahaan di masa depan.
Per 30 September 2018, penyaluran kredit Bank QNB Indonesia turun 26,87% menjadi Rp 12,16 triliun. Porsi dana pihak ketiga (DPK) juga turun 23% menjadi Rp 16,6 triliun. Perseroan membukukan rugi bersih Rp 160,08 miliar, membaik dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang rugi Rp 452,65 miliar. Pada 6 November lalu, QNB juga kembali menyuntik modal perseroan sebesar US$ 45 juta atau sekitar Rp 666,11 miliar.
(Baca: Laba Citibank Indonesia Anjlok 38%, Kredit Bermasalah Naik 2,34%)