Alarm dari Lapangan Banteng akan Ancaman Fintech bagi Perbankan

Arief Kamaludin (Katadata)
Penulis: Muchamad Nafi
1/4/2018, 17.58 WIB

Pentingnya kolaborasi perbankan dan fintech juga disampaikan Paulus Sutisna. Presiden Direktur DBS Indonesia ini menyatakan kalangan perbankan tak bisa lagi menutup mata dengan gelombang baru teknologi finansial. Sebab, bila ingin bertahan pada era saat ini tidak bisa tanpa menghiraukan fintech. “Bukan hanya untuk bertahan tapi untuk menjadi besar.”

DBS pun sedang dalam proses membeli sebagian saham perusahaan fintech Indonesia. Walau tanpa menyebut perusahaan yang hendak dimasuki, Paulus memberi bocoran besarannya sekitar 10 persen. (Baca: Bila Ingin Bertahan, Harus Bekerja Sama dengan Fintech).

Bila rencana-rencana seperti ini juga dilaksanakan oleh bank lainnya, industri perbankan dapat merebut kembali penguasaannya di sektor keuangan. Selama ini, akses perbankan yang masih rendah membuka peluang besar bagi tumbuhnya fintech. Kemajuan ekonomi digital telah meningkatkan pendanaan bagi para pelaku usaha melalui layanan peer to peer (P2P) lending yang mekanisme pembiayaannya merupakan terobosan dari praktik perbankan konvensional.

Data Bank Indonesia memperlihatkan penduduk dewasa yang memiliki rekening di lembaga keuangan formal baru 36,06 persen pada 2014. Sementara yang memiliki tabungan hanya 15,3 persen, bahkan yang memiliki pinjaman ke lembaga keuangan formal hanya 8,5 persen.

Hingga akhir semester pertama tahun lalu, kredit perbankan saat ini baru mencapai 34,8 persen dari produk domestik bruto (PDB) yang hampir mencapai Rp 13 ribu triliun. Sedangkan kredit untuk sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) hanya 6,84 persen dari PDB dan sebesar 19,63 persen dari total kredit perbankan.

P2P lending tumbuh pesat berkelindan dengan peminjam dana dan pemberi pinjaman naik sangat tinggi. Pada 2017, jumlah peminjam dana mencapai 259.635 orang, naik 581,4 persen (yoy) dari 2016 sebanyak 38.105 orang. 

Melihat data-data tersebut, Asosiasi FinTech Indonesia (AFTECH) mendukung OJK yang terus mendorong agar terjadi kolaborasi perbankan dan fintech. Namun, AFTECH menekankan agra OJK perlu lebih memahami, membedakan, dan mengawasi kegiatan fintech terutama yang bergerak di usaha P2P lending secara proporsional.

Misalnya terkait dengan tata kelola usaha yang baik, transparansi transaksi, pelaporan dengan melibatkan auditor independen, dan manajemen risiko yang tertata rapi. Dalam menilai penyedia P2P lending yang berkualitas, OJK juga perlu mempertimbangkan perlindungan konsumen dan pelaku usaha dan usaha dalam menekan kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL)-nya. 

(Baca: Dianggap Rentenir oleh OJK, Fintech Jelaskan Perhitungan Bunga)

Mereka meminta penyedia layanan P2P dibedakan dengan penyedia layanan pay-day loan maupun rentenir. Karena itu, “OJK perlu mengenali perbedaan antara penyedia layanan P2P lending yang beroperasi murni didasari semangat inklusi keuangan untuk merangkul mereka yang under banked serta profesi non-formal dan penyedia layanan yang memberlakukan pay-day loan atau mengenakan bunga harian kepada nasabah,” demikian laporan tertulis mereka pada akhir pekan ini.

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati