Penulis Tere Liye memutus kontrak dengan dua penerbit besar yaitu Gramedia Pustaka Utama dan Republika untuk penerbitan 28 judul bukunya. Langkah tersebut diambil sebagai bentuk protes kepada pemerintah lantaran membebankan pajak yang begitu besar kepada penulis.
Melalui akun Facebook-nya, Tere Liye membeberkan, pajak yang dibayarkan penulis lebih besar dibanding profesi lainnya, seperti dokter, arsitek, artis, hingga pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Persoalannya, kata dia, karena penghasilan penulis disebut royalti sehingga dianggap super netto maka tidak bisa menghitung pajak dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN).
Menurut perhitungan kasarnya, penulis dengan penghasilan Rp 1 miliar (belum dikurangi penghasilan tidak kena pajak/PTKP), harus membayar pajak dengan besaran hampir seperempat penghasilannya tersebut. “Total pajaknya adalah Rp 245 juta,” kata dia dalam tulisan yang diunggahnya di akun Facebook pribadinya pada Selasa, (5/9) malam.
Rincian perhitungannya, penghasilan Rp 1 miliar karena tanpa perhitungan NPPN, lalu dikalikan dengan pajak penghasilan progresif, yaitu 5% untuk Rp 50 juta pertama, 15% untuk Rp 50-250 juta berikutnya, lalu 25% untuk Rp 250-500 juta berikutnya, dan 30% untuk Rp 500-1 miliar berikutnya.
Menurut Tere, dirinya sudah menyurati banyak lembaga resmi pemerintah, termasuk Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak dan Badan Kreatif Nasional (Bekraf) terkait masalah ini. Namun, belum ada tanggapan. Maka itu, ia memutuskan untuk menyetop penerbitan bukunya oleh Gramedia dan Republika.
"Saya sudah setahun terakhir menyurati banyak lembaga resmi pemerintah, termasuk Dirjen Pajak, Bekraf, meminta pertemuan, diskusi. Mengingat ini adalah nasib seluruh penulis di Indonesia. Literasi adalah hal penting dalam peradaban. Apa hasilnya? Kosong saja. Bahkan surat-surat itu tiada yang membalas, dibiarkan begitu saja nampaknya," ujar dia.
Menanggapi protes Tere, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) yang juga seorang penulis Yustinus Prastowo meluruskan, penulis adalah profesi yang diakui di administrasi pajak sebagai pekerja bebas. Penulis yang berpenghasilan kurang dari Rp 4,8 miliar boleh menghitung pajak dengan NPPN. Dengan begitu, “Penghasilan netonya diakui sebesar 50%, baru dikurangi PTKP, dan dikenai pajak sesuai tarif berlaku,” kata dia, Rabu (6/9).
Pangkal persoalannya, menurut dia, ada pada tarif yang berlaku. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atas royalti penulis buku yaitu 15% atas jumlah bruto. "Memang kejam ya? Saya setuju. Umumnya jatah royalti penulis itu 10% dari penjualan, cukup kecil," kata Prastowo.
Ia membeberkan, jika tarif 15% berlaku untuk rentang penghasilan kena pajak antara Rp 150 juta-Rp 250 juta, maka akan diperoleh nominal potongan yang fantastis. Padahal, untuk mendapat penghasilan sebesar itu, penghasilan dari penjualan buku setidaknya harus berkisar Rp 1,5 miliar hingga Rp 2,5 miliar. Andai satu buku seharga Rp 100 ribu, maka harus menjual sekitar 15 ribu eksemplar. (Baca juga: Aturan Pajak E-Commerce Terbit September, Kemenkeu Siapkan Insentif)
Prastowo menambahkan, dengan ketentuan tersebut, nominal potongan pajak menjadi lebih besar dibanding kewajiban pajak tahunan. Artinya, para penulis berpotensi lebih bayar di akhir tahun. "Saya sepakat, tarif PPh pemotongan untuk royalti penulis sebaiknya diturunkan, supaya lebih fair, masuk akal, dan membantu cash flow (arus kas) penulis. Apalagi pembayaran royalti biasanya berkala, semesteran,” kata dia.
Meski begitu, ia tak sepakat dengan Tere yang menyebut pemerintah tidak peduli dengan nasib penulis. Prastowo mengaku sempat menyampaikan hal ini kepada Menteri Keuangan terdahulu Bambang Brodjonegoro dan disambut baik. Inisiatif menyampaikan keluhan ini pun ia dapat setelah berbincang dengan para penulis seperti Goenawan Mohamad, Ayu Utami, dan Dewi Lestari.
"Saya ingat betul, di awal 2015 secara langsung saya menyampaikan ini kepada Menkeu Bambang Brodjonegoro dan beliau menyambut baik. Sayangnya, perubahan ketentuan harus melalui revisi UU PPh melalui DPR. Masih panjang dan lama," ujar dia. (Baca juga: Kemenkeu Kaji Penurunan Pajak UMKM untuk Dorong Kepatuhan Pajak)
Saat ini, revisi UU PPh masih dalam proses. “Mari kita kawal bersama,” kata dia. Ia pun menilai positif kebijakan pemerintah yang sudah membebaskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan buku ajar. “Semoga ke depan semua jenis buku mendapat keringanan sehingga masyarakat menikmati bahan bacaan dengan harga terjangkau,” ucapnya.