Menanti Nyali BI Menurunkan Suku Bunga Acuan

Katadata | Arief Kamaludin
Gubernur BI Agus Martowardojo
22/8/2017, 10.28 WIB

Bank Indonesia (BI) menggelar rapat dewan gubernur (RDG) bulanan pada Senin (21/8) hingga Selasa hari ini (22/8). Rapat tersebut akan memutuskan nasib suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (RRR), suku bunga deposit facility dan lending facility. Bank sentral berpeluang menurunkan bunga acuan tersebut, yang selama 11 bulan terakhir bertahan di level 4,75%.

Di satu sisi, pemerintah telah meminta BI agar menurunkan suku bunga acuan sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Permintaan itu dikemukakan secara terbuka oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution.

Menurut mantan Gubernur BI itu, realisasi inflasi pada paruh pertama tahun ini yang sebesar 2,35% sudah bisa memberi sinyal kuat bagi BI untuk melonggarkan kebijakan moneter. "Sekarang tergantung BI, nyalinya bagaimana?" kata Darmin.

Dengan penurunan suku bunga acuan, suku bunga kredit perbankan diharapkan juga akan ikut turun. Dampak yang diinginkan, realisasi penyaluran kredit perbankan bakal mengalir deras. Per akhir Juni lalu, kredit perbankan yang belum ditarik debitor atau undisbursed loan pada 10 bank besar naik 9,92% dibandingkan periode sama 2016 menjadi Rp 734,5 triliun.

Kenaikannya lebih tinggi dibandingkan Juni 2016 yang meningkat 6,54%. Pertumbuhan kredit yang belum ditarik per Juni 2017 itu juga lebih tinggi dari daripada periode sama yang naik 8,62% yoy.

Makanya, Darmin berharap, BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merumuskan kebijakan yang mampu meningkatkan realisasi penyaluran kredit. Ia percaya kedua lembaga akan memilih kebijakan yang terbaik untuk memacu pertumbuhan ekonomi.

Wacana pelonggaran kebijakan moneter sebenarnya juga diutarakan Gubernur BI Agus Martowardojo. Alasannya, pada kuartal II-2017, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5,01%, sama seperti pertumbuhan kuartal I. Ini juga lebih rendah dibanding pertumbuhan kuartal II-2016.

Menurut Agus, ekonomi stagnan karena dunia usaha masih mengalami konsolidasi. Sementara itu, konsumsi masyarakat malah melemah, dengan pertumbuhan belanja rumah tangga pada kuartal II-2017 sebesar 4,95% atau di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi. Padahal, belanja rumah tangga paling dominan menentukan laju perekonomian.

Karena itu, BI memang melihat ada potensi pelonggaran kebijakan moneter. "Tidak tertutup kemungkinan BI akan melakukan easing untuk merespons dan membantu ekonomi supaya pertumbuhan dan investasi terjaga," kata Agus. Namun, keputusannya akan dibuat setelah BI mengkaji data-data ekonomi dalam rapat awal pekan ini.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual berpendapat, BI memiliki peluang melonggarkan kebijakan moneternya. Peluang terbuka karena inflasi relatif terkendali, yang dibuktikan dengan inflasi inti yang rendah. Ia memprediksi, inflasi sampai akhir tahun bisa di bawah target sebesar 4% plus minus 1%.

Selain itu, sentimen penurunan suku bunga acuan juga datang dari nilai tukar rupiah yang stabil. Ini terutama dipicu oleh masuknya arus modal asing ke pasar surat berharga. Arus modal asing mengalir deras karena kenaikan suku bunga acuan The Fed tidak secepat yang diperkirakan. Ia pun memprediksi, suku bunga BI 7 Day RRR masih bisa turun 25 basis points (bps) lagi menjadi 4,5%.

Tetapi, Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan, BI masih menjangkar ekspektasi dengan mempertahankan suku bunga acuan. Sebab, BI harus mengantisipasi kondisi ekonomi global ke depan, terutama terkait dengan kebijakan The Fed menaikkan suku bunga.

Bank Sentral AS sudah dua kali menaikkan suku bunga acuan tahun ini dan berencana menaikkannya sekali lagi pada September 2017 mendatang.

Selain itu, The Fed berencana meringankan neracanya dengan menjual obligasi yang diborongnya saat menjalankan kebijakan quantitative easing. Kebijakan tersebut, kata Josua, sudah direspons bank sentral dunia. Bank sentral Kanada misalnya, sudah menaikkan bunganya dari 0,5% menjadi 0,75%.

Bank sentral Eropa atau European Central Bank (ECB) juga kemungkinan akan mengurangi stimulus moneternya. “Posisi global saat ini adalah tightening (kebijakan pengetatan moneter). BI dan bank sentral di negara berkembang masih berhati-hati. Kalau dalam bahasa BI, cautious accomodative (netral),” ucapnya.

Dengan pertimbangan tersebut, Josua pun menilai kecil kemungkinan BI bakal memangkas bunga acuan, meski pertumbuhan kredit masih rendah. Sebab, rendahnya pertumbuhan kredit sebenarnya lebih diakibatkan oleh lemahnya daya beli masyarakat, bukan hanya persoalan bunga kredit.

Selain itu, penurunan bunga acuan belum tentu direspons perbankan dengan menurunkan bunga kredit. Alasannya, risiko kredit masih tinggi. Sepanjang tahun lalu, misalnya, bunga acuan turun 1,5%, tapi bunga kredit hanya turun sekitar 1%. Gap (perbedaan) ini terjadi karena dari perspektif perbankan, risiko kredit masih ada.

Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih juga berbagi pendapat serupa. Ia menilai, undisbursed loan bukan hanya karena mahalnya bunga kredit, tapi pelaku usaha memilih menunda pencairan kredit seiring konsumsi masyarakat yang belum pulih. "Pelaku usaha merasa tidak perlu ambil."

Menurutnya, jika BI menurunkan suku bunga acuan, konsekuensinya adalah imbal hasil surat utang turun. Sebab, imbal hasil surat berharga berpatokan pada ekspektasi suku bunga deposito perbankan. Jika bunga deposito perbankan turun, yield obligasi juga akan turun.

Akibatnya, harga obligasi menjadi mahal dan kurang menarik lagi bagi investor asing untuk masuk. Padahal, masuknya arus modal asing yang selama ini menjaga nilai tukar rupiah dan jumlah cadangan devisa.

Reporter: Martha Ruth Thertina