Laporan Keuangan KKP Bermasalah, BPK Tunggu Klarifikasi Lanjutan

ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti (kiri) berbincang dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani saat dialog bertajuk "Optimalisasi Peran Sektor Perikanan Tangkap dalam Pembangunan Nasional" di Kementerian KP, Jakarta, Selasa (14/3).
Penulis: Asep Wijaya
Editor: Yura Syahrul
22/5/2017, 16.03 WIB

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini disclaimer  atau Tidak Memberikan Pendapat (TMP) atas laporan keuangan tahun  2016 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Hal tersebut mengakhiri prestasi yang diraih kementerian yang dipimpin Susi Pudjiastuti ini selama empat tahun terakhir memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Penyebabnya, BPK menemukan dugaan adanya dana fiktif di kementerian tersebut.

BPK untuk pertama kalinya dalam 12 tahun terakhir memang memberikan opini WTP kepada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2016. Namun, ada enam laporan keuangan Kementerian /Lembaga yang mendapat opini disclaimer. Salah satunya adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara menyatakan, salah satu alasan BPK tidak memberikan opini atas laporan keuangan KKP tahun lalu adalah hasil pemeriksaan atas pengadaan 750 kapal untuk para nelayan. Berdasarkan aturan, pengadaan itu selesai sesuai tahun buku yaitu pada 31 Desember 2016.

Namun, prosesnya ternyata hanya merampungkan 48 kapal. Bahkan, pengadaannya kemudian diperpanjang hingga Maret 2017. Sementara anggaran senilai Rp 209 miliar untuk pengadaan barang tersebut sudah keluar dan ada masalah pada Berita Acara Serah Terima (BAST).

“Syarat-syarat perpanjangan itu harus ada BAST, tapi proses administrasi itu belum selesai,” kata Moermahadi dalam konferensi pers di Gedung BPK, Jakarta, Senin (22/5).

Ia menekankan para auditor BPK menemukan adanya ketidaksesuaian dalam pertanggungjawaban pengadaan kapal-kapal tersebut. Namun, auditor belum masuk ke tataran dugaan penggunaan fiktif terhadap dana yang telah keluar.

“Kalau itu (ada atau tidak dana fiktif) masuk PDTT (Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu). Tapi kalau BAST sudah diserahkan, pemeriksaan lanjutan mungkin tidak diperlukan,” kata Moermahadi.

Sementara itu, Auditor Utama II BPK Bahtiar Arief, mengaku, BPK berwenang melakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) sebagai pemeriksaan lanjutan pasca pemberian opini disclaimer. Pemeriksaan dilakukan salah satunya untuk menelusuri dugaan penggunaan fiktif atas anggaran negara lantaran Kementerian/Lembaga mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dan TMP.

“Penentuannya (pemeriksaan) ada di BPK dengan pertimbangan dari BPK yang salah satunya berkaitan dengan dampak yang besar, terutama dari segi nilai anggaran,” katanya.

Secara umum, menurut Moermahadi, prestasi atas kinerja Menteri Susi harus dipisahkan dengan akuntabilitas pada laporan keuangan di kementeriannya. Berkaitan dengan opini disclaimer dari BPK merupakan proses administrasi.

Ia tidak menutup kemungkinan opini disclaimer pada laporan keuangan Kementerian Kelautan terkait dengan kesalahan sistem pada Sistem Informasi Aset Negara (SIMA) milik Kementerian Keuangan. Meskipun dia menilai kemungkinan kecil masalah itu terjadi. “Tapi memang, di tempat lain tidak ada cerita ini,” ujar Moermahadi.

(Catatan: Judul awal berita ini adalah "Laporan Keuangan Kementerian Susi Bermasalah, BPK Duga Dana Fiktif" telah direvisi. Alasannya, seperti disampaikan BPK dalam tulisan ini bahwa ada-tidaknya dugaan fiktif baru ditentukan di tahap lanjutannya.)