Bank Indonesia (BI) mencatat, 173 perusahaan non-bank yang berisiko mengalami kerugian kurs lantaran belum melakukan lindung nilai (hedging) atas utang luar negerinya. Padahal, sesuai peraturan BI, perusahaan non-bank yang memiliki utang luar negeri wajib menerapkan prinsip kehati-hatian, di antaranya dengan melakukan hedging.
Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo memaparkan, terdapat 2.700 perusahaan yang wajib melaporkan utang luar negerinya kepada bank sentral. Namun, dari jumlah tersebut, baru 2.557 yang sudah melapor. Artinya ada 143 perusahaan yang belum melapor.
Adapun, yang sudah melakukan hedging baru 2.527 perusahaan. Ini artinya, ada 173 perusahaan yang belum menjalankan kewajibannya. Padahal, hedging bermanfaat bukan hanya untuk mencegah perusahaan mengalami kerugian kurs, tapi juga menjaga stabilitas pasar valuta asing.
"Hedging bisa membuat debitur yang melakukan terhindar dari selisih kurs dan tidak membuat masuk ke pasar forward secara mendadak," kata Dody di kantornya, Jakarta, Selasa (7/3). (Baca juga: DBS Ramal Bunga The Fed Naik 4 Kali, Rupiah Terancam Melemah)
Sesuai Peraturan BI (PBI) Nomor 16/21/2014 tentang prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan utang luar negeri korporasi nonbank, bank sentral mewajibkan perusahaan memenuhi rasio hedging minimum yaitu 25 persen terhadap selisih negatif antara aset dan kewajiban valas. Kewajiban valas yang dimaksud yakni yang akan jatuh tempo dalam waktu nol sampai tiga bulan dan lebih dari tiga bulan sampai enam bulan.
Menurut Dody, ketentuan tersebut semestinya diterapkan secara penuh mulai tahun ini. Sebelumnya, pada 2015, korporasi nonbank hanya perlu memenuhi rasio hedging sebesar 20 persen. Sesuai peraturan BI, hedging juga wajib dilakukan melalui perbankan domestik. (Baca juga: Utang Luar Negeri Melaju, BI: Cadangan Devisa Kuat)
Adapun, hingga kuartal III-2016, Dody mencatat, total utang luar negeri dengan masa jatuh tempo nol sampai tiga bulan mencapai US$ 4,2 miliar oleh 2.403 perusahaan. Dari jumlah tersebut, total utang luar negeri dengan masa jatuh tempo nol sampai tiga bulan yang di-hedging melalui perbankan domestik sebesar US$ 3,8 miliar.
Di sisi lain, total utang luar negeri dengan masa jatuh tempo tiga hingga enam bulan yang sudah di-hedging senilai US$ 1,6 miliar oleh 2.538 perusahaan. Dari nilai tersebut, yang di-hedging melalui perbankan dalam negeri sebesar US$ 1,3 miliar.
Selain kewajiban hedging, dalam aturannya, BI juga mewajibkan perusahaan memenuhi rasio likuditas minimal sebesar 70 persen dari utang luar negerinya yang akan jatuh tempo sampai dengan tiga bulan ke depan. Ketentuan ini juga digadang-gadang berlaku penuh tahun ini.
Sebelumnya, pada 2015, BI menerapkan rasio likuiditas minimal sebesar 50 persen. Adapun, sejauh ini, dari 2.700 perusahaan yang wajib lapor, baru 2.322 di antaranya yang sudah memenuhi aturan tersebut.
Kewajiban lainnya yang juga ditetapkan BI yakni peringkat utang minimal BB- untuk perusahaan yang menerbitkan utang luar negeri. Kewajiban ini berlaku bagi utang luar negeri yang ditandatangani sejak 1 Januari 2016.
Meski begitu, Dody mencatat, dari 538 korporasi yang wajib mematuhi ketentuan ini, hanya 132 perusahaan yang sudah mendapatkan peringkat utang dengan ketentuan minimum BB-.