Program kepemilikan rumah dengan uang muka (down payment/DP) nol persen atau nol rupiah yang diusung salah satu pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, memicu kehebohan dan pro-kontra. Program ini bertujuan agar semua masyarakat bisa memiliki hunian di dalam kota. Namun, di sisi lain, program ini dikhawatirkan berisiko besar bagi perbankan dan pasar properti.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menjelaskan, dalam aturan Bank Indonesia (BI), kredit pemilikan rumah (KPR) memang harus dengan uang muka. KPR bisa saja tanpa uang muka bila merupakan program pemerintah.
Jadi, “(Uang muka) ditalangi pemerintah, artinya beban diambil pemerintah,” kata dia kepada Katadata, Senin (21/2). Artinya, uang muka tetap ada dan harus disetorkan ke bank atau pemberi pinjaman, hanya tinggal pihak mana yang membayarnya: nasabah atau pemerintah.
Aturan uang muka memang jadi harga mati bagi BI. Gubernur BI Agus Martwardojo menegaskan, tidak mungkin KPR tanpa uang muka. "Harus ada minimum DP untuk penyaluran kredit mortgage. Kalau nol persen menyalahi 9aturan). Sebaiknya jangan dilakukan karena nanti akan dapat teguran dari otoritas," ujarnya, Jumat (17/2) pekan lalu.
(Baca juga: Seberapa Besar Peluang Punya Hunian Bebas Uang Muka di Jakarta?)
BI memang mengatur secara ketat kebijakan batasan uang muka sejak 15 Maret 2012. Ketika itu, BI menerbitkan peraturan Loan to Value (LTV) yang membatasi maksimal pembiayaan KPR dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) oleh perbankan. Secara tidak langsung, aturan itu juga membatasi minimal uang muka yang harus dibayarkan nasabah KPR.
Bukan tak ada sebab BI merilis aturan ketat tersebut. Sebelumnya, KPR dan KKB di perbankan tumbuh kencang, yang kemudian bermuara kepada kenaikan kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) perbankan dan lembaga pembiayaan.
Sekadar gambaran, pada Desember 2011, sebelum BI menerbitkan aturan tersebut, pertumbuhan KPR melonjak 32,9 persen dibandingkan setahun sebelumnya. Pertumbuhan KPR makin melonjak pada Januari 2012 menjadi 43,04 persen atau di atas rata-rata pertumbuhan kredit yang mencapai 23,72 persen.
Seiring pertumbuhan kencang KPR, rasio NPL pun ikut meningkat. Rasio NPL KPR naik dari 1,83 persen pada Desember 2011 menjadi 2,12 persen pada Januari 2012.
Selain itu, ringannya persyaratan kredit telah memunculkan para spekulan yang membeli rumah bukan untuk ditempati melainkan untuk investasi. Kondisi ini membuat harga rumah kian meroket.
Dua kondisi itulah yang melatari langkah BI memperketat aturan LTV. Pembiayaan KPR oleh bank untuk rumah tipe 70 ke atas sebesar 70 persen alias uang mukanya minimal 30 persen. Bahkan, uang muka untuk kepemilikan rumah kedua, ketiga, dan seterusnya lebih tinggi lagi, yaitu 40 persen dan 50 persen.
Menurut David, persyaratan KPR yang terlalu ringan memang berbahaya. Kebijakan semacam ini pernah menyebabkan kejatuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang memicu krisis global pada 2008. “Pemicunya utang rumah tangga, utamanya kredit perumahan,” ujarnya.
Peneliti di Biro Stabilitas Sistem Keuangan BI Fernando R. Butarbutar pernah menyinggung soal pengalaman buruk AS dalam artikel yang bertajuk “BI Lebih Memilih Merusak Pesta”. Pada 2005, kata dia, masyarakat AS begitu gembira lantaran kredit rumah dengan gampang diperoleh, suku bunga rendah seiring derasnya aliran dana masuk ke AS, dan harga investasi rumah mereka yang terus meningkat. Bank sentral AS tak berbuat apa-apa hingga terjadi bubble alias gelembung harga properti.
“Harga rumah mencapai puncak pada pertengahan tahun 2006 lalu kemudian meletus (harga turun drastis) dan AS dilanda salah satu krisis ekonomi terbesar. Begitu luasnya dampak krisis tersebut hingga merambat ke banyak negara dan dampaknya bahkan masih dapat dirasakan sampai saat ini,” ujarnya.
Berdasarkan kejadian itulah, Fernando menyatakan, BI punya alasan kuat mengatur uang muka KPR. Dengan uang muka yang lebih tinggi, bank akan memperoleh calon-calon debitur yang benar-benar serius dan mampu. “Hasil yang diharapkan? Tentunya adalah performa kredit (NPL) yang akan lebih baik,” katanya.
(Baca juga:KPR Murah, BTN Tetapkan Dua Syarat Utama)
Di sisi lain, David menjelaskan, uang muka kredit merupakan bentuk pembagian risiko antara bank dengan nasabah. Dengan adanya uang muka, nasabah tidak akan dengan mudah membiarkan KPR macet sehingga membebani bank.
Ia mencontohkan pengalaman buruk ketika marak kredit otomotif dengan uang muka rendah. “Ambil kredit motor murah, setelah Lebaran dibalikin (tidak dilunasi), itu beban multifinance dan bank. Dia harus lakukan penagihan, tarik barang, itu biaya semua,” ujarnya.
Menurut dia, ketentuan uang muka juga perlu diterapkan untuk fasilitas KPR program pemerintah. Alasannya, “Perlu ada semacam keterlibatan, (supaya) yang menerima (fasilitas KPR) ada rasa memiliki, sharing risiko. Juga supaya tak terjadi moral hazard, spekulan masuk," kata David.
(Baca juga: Bangun Rumah Murah, Pemerintah Sasar Lahan BUMN)
Uang Muka Minimal KPR & Pembiayaan Properti Akad Murabahah & Istishna | |||
Tipe Properti (m2) | Fasilitas I | Fasilitas II | Fasilitas III, dst |
Rumah Tapak | |||
Tipe > 70 | 15 % | 20 % | 25 % |
Tipe 22-70 | - | 15 % | 20 % |
Tipe ≤ 21 | - | - | - |
Rumah Susun | |||
Tipe > 70 | 15 % | 20 % | 25 % |
Tipe 22-70 | 10 % | 15 % | 20 % |
Tipe ≤ 21 | - | 15 % | 20 % |
Ruko/Rukan | - | 15 % | 20 % |
Uang Muka Minimal Pembiayaan Properti Akad MMQ & IMBT | |||
Tipe Properti (m2) | Fasilitas I | Fasilitas II | Fasilitas III, dst |
Rumah Tapak | |||
Tipe > 70 | 10 % | 15 % | 20 % |
Tipe 22-70 | - | 10 % | 15 % |
Tipe ≤ 21 | - | - | - |
Rumah Susun | |||
Tipe > 70 | 10 % | 15 % | 20 % |
Tipe 22-70 | 10 % | 15 % | 20 % |
Tipe ≤ 21 | - | 15 % | 20 % |
Ruko/Rukan | - | 15 % | 20 % |
* Berlaku mulai 29 Agustus 2016
* Pada bank dengan rasio NPL nett kurang dari 5 persen & rasio NPL gross kredit/pembiayaan properti kurang dari 5 persen.