Ekonom: Jangan Khawatir, Rupiah Tak Bakal Terpukul

Arief Kamaludin|Katadata
23/12/2016, 16.05 WIB

Nilai tukar rupiah terus melemah dalam perdagangan sepekan ini. Sejak Selasa (10/12) lalu, rupiah diperdagangkan di kisaran 13.400 per dolar Amerika Serikat (AS). Meski begitu, para ekonom meramalkan kurs rupiah tak akan melorot terlalu dalam, apalagi sampai menembus level 15.000 per dolar AS.

Chief Economist Bank CIMB Niaga Adrian Panggabean mengatakan, kekhawatiran pasar atas kebijakan ekonomi di AS mulai menurun. Hal inilah yang membuatnya yakin kurs rupiah tak akan mengalami depresiasi besar: tidak di akhir tahun ini, tidak juga di awal tahun depan.

Turunnya kekhawatiran pasar tampak dari tingkat gagal bayar utang luar negeri tenor lima tahun atau 5-year Sovereign Credit Default Swap Indonesia yang membaik. Ketika Donald Trump terpilih sebagai Presiden AS November lalu, besarannya 1,82 persen. Namun, pada periode 9-16 Desember lalu, menurun ke kisaran 1,6-1,65 persen. 

(Baca juga: BI Klaim Cadangan Devisa Cukup Hadapi Gejolak Awal 2017)

Menurut Adrian, kenaikan tingkat risiko investasi pada November lalu juga hanya disebabkan oleh noise investor, yaitu pelaku pasar yang mudah menjual dan membeli aset tanpa mempertimbangkan data-data fundamental ekonomi.

“Yang terjadi saat Trump menang, mereka (noise investor) ambil posisi sehingga (besarannya) naik dan berharap investor lain ikut. Setelah itu baru dilepas, itu yang disebut pump and dump strategy,” ujarnya di Jakarta, Kamis (22/12).

Ke depan, Adrian juga meyakini bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), tak akan membiarkan mata uangnya menguat tajam. Alhasil, rupiah juga tak akan terdepresiasi tajam. Sebab, setiap kali indeks dolar AS menguat hingga melebihi 100, maka ekspor AS juga menurun.

Hal tersebut mengacu pada pengalaman di tahun 1970-an, ketika indeks dolar AS menyentuh level 200. Demikian juga pada era 1998-1999, ketika indeks dolar AS mencapai 150 dan 120.

Besarnya indeks ini terjadi karena investor memindahkan dananya dari obligasi di Uni Eropa ke AS seiring kenaikan imbal hasil (yield) obligasi di negara tersebut. “Padahal dolar yang acceptable range-nya hanya 90-100,” kata dia.

Adrian memaparkan, ada empat syarat yang membuat penguatan dolar AS dimungkinkan. Pertama, inflasi yang rendah. Namun, saat ini, inflasi menunjukkan peningkatan. Kedua, menguatnya produktivitas ekonomi. Namun, jumlah orang yang bekerja dan mencari kerja di AS (labor force participation rate) sudah kembali ke posisi di era 1980-an.

Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang kuat. Keempatsuplai dan demand. “Jadi saya ragu kalau dolar AS akan menguat,” tutur Adrian.

Kalaupun dolar AS terus menguat, ia meyakini hal itu tak akan memukul kurs mata uang semua negara ekonomi berkembang (emerging market). “Emerging market tidak semuanya terkena dampak, kecuali yang bergantung dan domestiknya tidak kuat seperti Malaysia. Beda dengan India, Cina, dan Indonesia,” ujarnya.

(Baca juga: Efek Trump, Ringgit Anjlok Terendah Sejak Krisis 1998)

Perihal kenaikan suku bunga AS (Fed Rate) yang diproyeksikan naik tiga kali, ia pun tak yakin akan memperlemah rupiah secara signifikan. Alasannya, pertumbuhan ekonomi AS yang di bawah dua persen tahun ini tak mampu mengimbangi selisih antara yield US Treasury 30 tahun dengan yang 10 tahun yang sebesar 4,25 persen jika bunga The Fed naik tiga kali. Dengan begitu, ada kekhawatiran risiko gagal bayar.

Kalaupun AS mampu mendorong ekonominya untuk memenuhi kebutuhan beban bunga utang tersebut, Indonesia sudah cukup stabil menghadapi gejolak yang mungkin terjadi. Yield Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun, misalnya, sudah mencapai delapan persen per 16 Desember 2016.  Besarannya sudah sama jika The Fed naik tiga kali.

“Jadi apa yang dikhawatirkan? Kalau khawatir rupiah sampai  15.000 per dolar AS, tidak kayaknya. Yield-nya saja udah bagus.”

Pendapat senada disampaikan Ekonom Mandiri Sekuritas Handy Yunianto. Ia menyebutkan bahwa return dari Surat Perbendaharaan Negara (SPN) tiga bulan menurun 3,5 persen, lebih rendah dari Emerging Market Local Sovereign Index yang terkontraksi 6,2 persen. Artinya, obligasi Indonesia masih menjadi pilihan investasi bagi pemegang saham.

(Baca juga: Tax Amnesty Bisa Meredam Keluarnya Dana Asing dari Indonesia)

"Kalaupun US Treasury 10 tahun sampai 3 persen, rupiah hanya melemah hingga 14.000 per dolar AS. Kalau US Treasury hanya 2,75 persen, rupiah bisa di kisaran  13.400 per dolar AS," katanya.