Keikutsertaan masyarakat dalam program pengampunan pajak (tax amnesty) masih rendah menjelang berakhirnya periode II program tersebut. Selain mengajak melalui kegiatan sosialisasi untuk mengikuti program itu, pemerintah mengancam akan mulai menelusuri harta wajib pajak yang tidak patuh.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyayangkan, program amnesti pajak baru diikuti oleh 482 ribu wajib pajak dari total 26,8 juta wajib pajak terdaftar. Sedangkan uang tebusan program tersebut per Kamis (8/12) lalu baru mencapai Rp 100,5 triliun atau 40 persen lebih rendah dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2016 yang sebesar Rp 165 triliun.
Ia merinci, perolehan uang tebusan tersebut terdiri atas wajib pajak orang pribadi non-Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebesar Rp 81,9 triliun dan orang pribadi UMKM Rp 3,9 triliun. Sedangkan tebusan dari wajib pajak badan non-UMKM Rp 10,5 triliun dan badan UMKM Rp 300 miliar.
(Baca: Sri Mulyani Ancam Cabut Sertifikat Bankir Tak Ikut Tax Amnesty)
Padahal, pemerintah gencar melakukan sosialisasi sejak bergulirnya program tersebut pada medio Juli lalu. Sosialisasi dilakukan ke berbagai kota besar, bahkan hingga ke luar negeri, dan ke beragam kelompok profesi serta sektor usaha. Presiden Joko Wdodo juga kerap turun langsung melakukan sosialisasi pengampunan pajak.
Ke depan, menurut Sri Mulyani, pemerintah akan bersikap lebih tegas dengan mengancam pemeriksaan harta para wajib pajak. Langkah itu akan dilakukan pada periode ketiga tax amnesty mulai awal Januari tahun depan hingga 31 Maret 2017.
“Presiden sudah katakan pada tahap pertama itu mengajak. Tahap kedua sosialisasi mengajak, dan mengingatkan. Periode terakhir mengancam,” kata Sri Mulyani di Jakarta, Jumat (9/12).
Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama mengaku adanya pelatihan pelacakan aset (asset tracing) kepada petugas pajak bagian pemeriksaan dari seluruh Indonesia. Pelatihan ini menjadi bekal bagi Ditjen Pajak untuk menjalankan kewenangannya menelusuri harta wajib pajak yang tidak dilaporkan selama masa amnesti pajak.
(Baca: Sri Mulyani Yakin Raup Pajak Rp 143 Triliun Selama Desember)
Pelatihan yang diselenggarakan di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, pada Rabu (7/12) lalu, itu menghadirkan Direktur Intelijen Perpajakan Peni Hirjanto, perwakilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan pihak konsultan sebagai narasumber.
Peni menjelaskan teknik dan metode untuk menelusuri aset dengan menggunakan data yang dimiliki Ditjen Pajak. Dia pun langsung mencontohkan beberapa kasus penelususan aset yang pernah dilakukannya.
Sedangkan dua narasumber eksternal lainnya, menjelaskan metode dan teknis penelusuran aset untuk harta tidak bergerak dan harta dalam bentuk aset di perbankan. Selain itu, metode yang digunakan wajib pajak untuk menyembunyikan aset serta cara mengatasinya.
(Baca: Sri Mulyani Nilai Partisipasi BUMN di Tax Amnesty Memalukan)
Menurut Yoga, apabila Ditjen Pajak menemukan harta yang tidak diungkapkan maka harta itu dianggap sebagai penghasilan dan dikenakan pajak dengan tarif hingga 30 persen. Selain itu, kena sanksi denda hingga dua kali lipat bagi yang tidak melaporkan kondisi harta sebenarnya meski sudah ikut amnesti pajak.
Ketentuan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tax Amnesty. “Maka dari itu, kami mengimbau semua wajib pajak segera melaporkan dengan benar seluruh harta yang diperoleh dari penghasilan yang belum dikenakan pajak melalui program amnesti pajak. Jadi tidak ada risiko dikenakan sanksi,” ujar Yoga.