Belakangan ini, risiko arus keluar dana asing (capital outflow) dari pasar negara-negara ekonomi berkembang (emerging market) semakin besar. Pemicunya adalah berkembangnya tren nasionalisme di negara-negara maju.
Jadi, pemicu outflow bukan cuma kebijakan proteksionis Trump yang mendorong naiknya imbal hasil (yield) surat utang di Amerika Serikat (AS).
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mencatat, sepanjang November lalu atau pasca terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS), dana asing yang keluar dari emerging market mencapai US$ 28 miliar. Nominal tersebut memang lebih rendah dibanding saat bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), memutuskan mengurangi stimulus moneternya (tapering) pada 2013 silam.
Meski begitu, ke depan, risiko arus keluar dana asing semakin besar bila Trump benar-benar menjalankan kebijakan proteksionis terhadap perdagangan global. Ditambah lagi dengan berkembangnya tren nasionalisme di negara-negara maju. Sebut saja, masyarakat Italia yang menolak referendum atau memilih partai yang lebih nasionalis seperti halnya ketika Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit).
(Baca juga: Risiko Arus Keluar Modal Asing di Akhir Tahun Perlu Diwaspadai)
“Jadi kemungkinan tren global seperti itu. Negatif bagi pasar karena mengganggu perdagangan global,” tutur David kepada Katadata, Senin (5/12). Adapun dampak riil kebijakan AS terhadap perdagangan dunia diperkirakan baru akan dirasakan pada 2018.
Dampaknya bisa berlangsung lama bila Trump berhasil mendorong perekonomian AS melalui kebijakan proteksionisnya. “Meskipun secara prospek jangka menengah lebih baik (terhadap perekonomian AS). Jangka pendek pengaruh ke finansial, keliatan dari outflow dari emerging market,” kata dia.
(Baca juga: Negara Maju Berbalik Yakin Program Trump Mampu Dongkrak Ekonomi)
Pendapat berbeda disampaikan Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Juda Agung. Ia meyakini efek negatif gejolak di pasar keuangan global terhadap Indonesia lebih kecil. Sebab, kondisi Indonesia saat ini lebih baik dibanding ketika terjadi Taper Tantrum pada 2013. Pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan menunjukkan tren pemulihan.
Tahun ini, ia perkirakan defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) hanya dua persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), lebih kecil dibanding 2013 yang mencapai empat persen. Pada 2017, defisit transaksi berjalan juga diperkirakan di bawah 2,5 persen. Inflasi juga diproyeksi hanya 3-3,2 persen tahun ini dan berkisar empat persen pada warsa berikutnya.
“We are now is better dibanding 2013. Dan (dibanding) negara peers, pasar bahkan melihat Indonesia jauh lebih baik dibanding Malaysia yang cadangan devisanya di bawah US$ 100 miliar (Indonesia US$ 115 miliar),” kata Juda.
Ekonom Sampoerna University Wahyoe Soedarmono juga sepandapat, pelarian dana asing dari Indonesia relatif lebih kecil dibanding Thailand, India, Taiwan, maupun Korea Selatan. Keberhasilan program pengampunan pajak (tax amnesty) dan fundamental yang baik, bisa meminimalkan tekanan dari global.
Secara umum, dia menilai Indonesia relatif siap menghadapi gejolak pasar jangka pendek setidaknya hingga 2017. (Baca juga: Dana Repatriasi Kerek Surplus Neraca Pembayaran 14 Kali Lipat)
“Defisit transaksi berjalan yang hanya 1,8 persen dari PDB di kuartal II meminimalkan risiko pelarian modal dari Indonesia akibat sentimen negatif investor asing,” ujar dia dalam acara bertajuk ‘The Indonesia Economic and Financial Sector Outlook (IEFSO) 2017 di Jakarta, Senin (5/12).