Harga emas diperkirakan bakal merangkak naik menjelang pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat (AS) yang digelar Rabu besok (8/11) waktu setempat. Penyebabnya, pelaku pasar mulai mencari instrumen investasi yang aman karena khawatir pilpres bakal dimenangkan kandidat dari Partai Republik, Donald Trump.
Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih mengatakan, kenaikan harga emas bakal berlanjut jika Trump benar-benar terpilih menjadi Presiden Amerika. Seperti diketahui, banyak pelaku pasar mengkhawatirkan dampak kemenangan Trump terhadap kondisi pasar karena kebijakannya dianggap tidak sejalan dengan pasar. (Baca juga: Clinton atau Trump, Siapa Paling Bahaya Bagi Bursa Saham?)
“Kalau Trump naik, harga emasnya naik,” kata Lana kepada Katadata, Senin (7/11). Menariknya, kenaikan harga emas bakal memberikan dorongan positif pada kinerja ekspor Indonesia di sektor pertambangan yang mulai merangkak naik.
Meski begitu, Lana menjelaskan, kinerja ekspor pertambangan tetap bisa meningkat bila pilpres AS memenangkan rival Trump dari Partai Demokrat, yaitu Hillary Clinton. Namun, perbaikan kinerja bukan karena kenaikan harga melainkan kenaikan volume. Apalagi jika pemerintah memutuskan tetap membuka keran ekspor mineral mentah dan konsentrat.
Sekadar catatan, mengacu pada data Bloomberg, hingga Rabu siang (8/11), harga emas untuk kontrak Desember 2016 di bursa Comex naik 0,48 persen atau 6,2 poin menjadi US$ 1.285,60 per ounce.
Hal senada diungkapkan Ekonom Maybank Juniman. Menurutnya, investor mulai melakukan diversifikasi investasi ke emas. Diversifikasi tersebut karena tingginya ketidakpastian investasi di global, di antaranya terkait hasil pilpres di AS dan rencana kenaikan suku bunga dana bank sentral AS alias The Federal Reserve (The Fed).
“Kondisi tidak menentu, orang taruh (uang) di US Treasury atau emas. Ini merespons kekhawatiran Trump dan the Fed,” kata Juniman. Namun, ia menduga pengaruhnya terhadap harga emas tak akan signifikan.
Sebagai informasi, kinerja sektor pertambangan mulai tumbuh positif pada kuartal III lalu. Badan Pusat Statistik (BPS) melansir, sektor pertambangan dan penggalian tumbuh positif 0,13 persen setelah 1,5 tahun terkontraksi. "Tambang dan galian tumbuh positif 0,13 persen, penyebabnya karena ada kenaikan produksi beberapa komoditas tambang seperti emas dan tembaga," kata Kepala BPS, Suhariyanto, Senin (7/11).
Namun, jika dilihat secara harga, Suhariyanto mengakui nilainya masih lebih rendah dibandingkan setahun lalu. Adapun pada kuartal IV ini, ia meramal, sektor tambang berpotensi tumbuh kian baik jika pemerintah tetap membuka keran ekspor mineral mentah dan konsentrat. (Baca juga: Setelah 1,5 Tahun, Sektor Tambang Akhirnya Tumbuh Lagi)
Seperti diketahui, Peratuan Pemerintah Nomor 1/2014 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara (minerba) membatasi ekspor konsentrat atau tambang mentah hingga 12 Januari tahun depan. “Kalau jadi direlaksasi, seharusnya tahun ini bisa ketangkap (pengaruh) di kuartal IV,” ujarnya.
BPS mencatat ekspor tambang mengalami peningkatan meski kinerja ekspor secara keseluruhan makin merosot. Secara tahunan ekspor tumbuh negatif enam persen, padahal di Kuartal II hanya minus 2,73 persen. Begitu pula secara kuartal per kuartal, ekspor terkontraksi 3,69 persen lebih tinggi dibanding sebelumnya yang hanya minus 2,33 persen.