Perusahaan layanan keuangan berbasis teknologi atau financial technology (Fintech) kian menjamur di Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, ada 120 perusahaan fintech di bawah otorisasinya. Jumlahnya bakal lebih banyak jika ditambah dengan perusahaan fintech yang berada di bawah otorisasi Bank Indonesia.
“Klasifikasi perusahaan fintech itu di luar jenis usaha fintech di bidang sistem pembayaran yang akan diatur oleh Bank Indonesia," ujar Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Rahmat Waluyanto saat temu media di kantor OJK, Jakarta, Kamis (6/10). (Baca juga: Presiden Dorong Teknologi Finansial buat Transaksi Keuangan)
Otorisasi dipecah karena OJK hanya akan mengatur pelaku usaha fintech yang inti bisnisnya mencakup deposit (penyimpanan dana), lending (penyaluran dana), capital raising (pengumpulan modal), dan market provisioning (penyediaan pasar). Sedangkan BI akan mengatur pelaku usaha fintech yang bisnis utamanya berupa clearing and settlement (penyelesaian transaksi pembayaran).
Beberapa perusahaan fintech sudah banyak dikenal, misalnya Bareksa yang bergerak di bidang layanan investasi reksadana. Ada pula Veritrans yang menyediakan jasa pembayaran atau Amartha yang fokus dalam penyaluran dana atau pinjaman untuk masyarakat pedesaan.
Hingga kini, baik OJK maupun BI masih sama-sama menggodok aturan khusus fintech. Aturan tersebut, dijanjikan Rahmat, bakal segera diluncurkan. Isinya diklaim bukan untuk menyulitkan pelaku usaha fintech melainkan membantu pengembangan usaha tersebut. (Baca juga: Minimalkan Penipuan, Aturan Fintech Diminta Segera Terbit)
Rahmat menilai, pengaturan fintech penting karena industri jasa keuangan di masa depan bakal semakin bergantung pada teknologi informasi, baik dalam perdagangan sekuritas, bisnis perbankan, asuransi dan lain sebagainya. Karena itu, OJK perlu memastikan keamanan layanan fintech dari berbagai risiko, seperti hilangnya dana atau data klien.
Selain itu, OJK perlu memastikan layanan fintech mendukung undang-undang anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. "Kami akan mengatur semua fintech akan memperhatikan aspek ini. Jangan sampai ada pencucian uang, memfasilitasi terorisme, dan bisa menjaga sistem keuangan," kata dia
Ada lima poin yang akan masuk dalam aturan terkait fintech. Pertama, tentang Fintech Innovation HUB, yaitu sentra pengembangan fintech nasional, yaitu pelaku usaha fintech bisa berhubungan dan bekerjasama dengan industri dan lembaga yang jadi pendukung ekosistem keuangan digital.
Kedua, soal Certificate Authority (CA) di sektor jasa keuangan. CA merupakan penerbit sertifikat tanda tangan digital milik pelaku jasa keuangan. CA tersebut akan menjamin bahwa suatu transaksi elektronik yang ditandatangani secara digital telah diamankan dan berkekuatan hukum sesuai dengan ketentuan yang ada di Indonesia. Nantinya, OJK akan bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi terkait CA tersebut.
Ketiga, penerbitan Sandbox Regulatory untuk fintech atau aturan dasar guna mendorong tumbuh kembang fintech. Aturan tersebut akan menjadi landasan hukum bagi fintech untuk menarik investasi, menjaga efisiensi, dan melindungi kepentingan konsumen.
Keempat, terkait Pusat Pelaporan Insiden Keamanan Informasi di industri jasa keuangan. Pusat pelaporan tersebut akan menjadi wadah untuk mengkaji implementasi standar dalam pengamanan data dan informasi di industri fintech.
Kelima, soal Vulnerability Assessment (VA) atau pengukuran kerentanan yang tersentralisasi di industri jasa keuangan. Tujuannya untuk menekan risiko serta ancaman keamanan informasi pada industri jasa keuangan.
Poin terakhir , menurut Rahmat, terkait dengan Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2012 tentang data center. Lembaga jasa keuangan, jika beraktivitas di dalam negeri dan punya nasabah di Indonesia, maka wajib menempatkan server-nya di dalam negeri. Tujuannya agar pihak otoritas bisa melakukan pengecekan.