Hasil referendum masyarakat Inggris yang memilih negaranya keluar dari keanggotan Uni Eropa, telah mengguncang pasar finansial dunia. Mata uang rupiah juga anjlok terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Namun, Bank Indonesia (BI) dan ekonom memperkirakan, dampak “Britain Exit” (Brexit) terhadap rupiah hanya dalam jangka pendek.
Saat hasil penghitungan suara rampung pukul 13.00 WIB, Jumat (24/6) ini, rupiah di pasar spot melemah hingga sempat menyentuh level 13.530 per dolar AS atau anjlok sekitar 1,5 persen. Belakangan, rupiah sedikit menguat menuju level 13.400 per dolar AS.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, mayoritas mata uang utama dunia ikut melemah terhadap dolar AS. Nilai tukar pounsterling melemah hingga 10 persen. Bahkan, fluktuasinya mencapai 11 persen.
Alhasil, rupiah pada perdagangan hari ini turut melemah sekitar satu persen. Padahal, sejak awal tahun ini rupiah sudah menguat empat persen.
(Baca: Inggris Tinggalkan Uni Eropa, Pasar Keuangan Dunia Guncang)
Menurut Agus, pelemahan mata uang ini karena faktor risk off yang ditandai dengan beralihnya dana-dana dari aset yang dianggap berisiko ke yang lebih aman.
Negara yang dipilih oleh investor untuk mengamankan dananya adalah Jepang dan AS. Itu terlihat dari penguatan signifikan yen Jepang dan dolar AS pada hari ini.
Meski begitu, Agus memperkirakan dampak Brexit terhadap rupiah hanya bersifat sementara. “Implikasi jangka pendek. Kami akan terus menjaga,” katanya di kompleks BI, Jakarta, Jumat (24/6). Apalagi, secara umum dia menilai kondisi perekonomian di dalam negeri masih baik. “Inflow (dana masuk) ke Indonesia pun masih besar,”
Menurut dia, perekonomian Indonesia mampu menopang kestabilan rupiah. Laju inflasi terkendali, begitu juga defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) yang diproyeksikan mencapai 2,2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun ini. Hingga pekan lalu, dana asing yang masuk ke Indonesia sepanjang tahun ini mencapai Rp 70-an triliun, lebih tinggi dibandingkan periode sama tahun lalu yang hanya Rp 30 triliun.
(Baca: Efek Brexit Lebih Memukul Rupiah ketimbang Perdagangan)
Di sisi lain, BI melihat secara jangka panjang pertumbuhan ekonomi Inggris bakal menurun sampai tahun 2030. Untungnya, nilai transaksi dagang Indonesia dengan Inggris kecil. Selain itu, sebelum resmi keluar dari Uni Eropa, Inggris harus menjalani sejumlah proses. Mulai dari mengajukan permintaan, proses negosiasi yang meliputi pembiacraan mengenai tarif dan masalah migrasi penduduk. Proses itu diperkirakan membutuhkan waktu sampai dua tahun.
Ekonom Bank Mandiri juga mencatat, pengaruh perekonomian Inggris terhadap Indonesia cenderung kecil.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, nilai perdagangan Indonesia dengan Inggris terus menurun dari US$ 3,1 miliar pada 2012 menjadi US$ 2,3 miliar tahun lalu. Investasi asing dari Inggris juga sedikit. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, investasi dari Inggris hanya US$ 54,9 miliar pada kuartal I-2016 atau hanya menduduki peringkat ke-14.
(Baca: Cemaskan Risiko Brexit, Bank Sentral Amerika Tahan Suku Bunga)
Karena itu, Ekonom Bank Mandiri memperkirakan, dampak gejolak keuangan akibat Brexit hanya bersifat tidak langsung dan berjalan sementara terhadap Indonesia. Risiko yang paling mungkin terjadi adalah keluarnya arus modal (capital outflow) sehingga memengaruhi likuiditas rupiah.
Untuk bisa menarik dana tersebut kembali ke Tanah Air, pemerintah dapat menaikkan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN). “Risiko itu kami perkirakan akan berlangsung sementara hingga perekonomian Uni Eropa mencapai titik keseimbangan baru,” tutur Ekonom Bank Mandiri dalam kajiannya, Jumat (24/6).