Mata uang rupiah bergerak fluktuatif dalam tiga pekan terakhir. Setelah sempat melemah hingga menyentuh level 13.600 per dolar Amerika Serikat (AS), rupiah mendadak menguat tajam sejak awal pekan ini. Faktor utama lebih disebabkan oleh dolar AS yang melorot tajam seiring ketidakpastian rencana kenaikan suku bunga AS (Fed rate).
Pada perdagangan di pasar spot, Selasa (7/6) ini, rupiah ditutup di level 13.263 per dolar AS atau menguat 0,8 persen dibandingkan hari sebelumnya. Bahkan, jika dihitung sejak awal pekan ini atau selama dua hari terakhir, rupiah sudah menguat 2,4 persen dari level 13.595 per dolar AS pada Jumat pekan lalu.
Sementara itu, berdasarkan kurs referensi Bank Indonesia (BI) yaitu JISDOR, rupiah pada Selasa ini mencapai level 13.375 per dolar AS. Jika dihitung sejak awal pekan ini, rupiah sudah menguat 1,7 persen. Padahal, pada pekan lalu, rupiah sempat terpuruk ke level 13.661 per dolar AS, yang merupakan posisi terendahnya sejak awal Februari lalu.
(Baca: DBS Peringatkan Kenaikan Fed Rate di Tengah Perbaikan Ekonomi)
Di tengah belum adanya sentimen positif dari dalam negeri, penguatan tajam rupiah di awal pekan ini memang lebih disebabkan oleh terus melemahnya mata uang dolar AS dalam tiga pekan terakhir. Bloomberg mencatat, indeks dolar turun 1,6 persen sejak pekan lalu.
Pangkal soalnya adalah pernyataan Ketua Federal Reserve (the Fed), bank sentral AS, Janet Yellen, yang tidak tegas menyebutkan waktu menaikkan suku bunga Fed rate. Dalam pidatonya, Senin lalu, Yellen mengatakan sedang mengamati empat area yang mengalami ketidakpastian dalam prospek atau outlook ekonomi. Apalagi, Departemen Tenaga Kerja AS yang mencatat berkurangnya jumlah pekerja selama hampir enam tahun.
(Baca: Otoritas Moneter Waspadai Kenaikan Fed Rate)
“Saya terus berpikir bahwa suku bunga akan dinaikkan bertahap untuk memastikan stabitilas harga dan keberlangsungan lapangan kerja untuk jangka panjang,” kata Yellen, seperti dilansir Bloomberg, Selasa (7/6). Pernyataan ini sebelum The Fed memasuki masa tenang menjelang rapat pada 14-15 Juni mendatang.
Manajer senior portofolio dari Aberdeen Asset Management Plc. di New York, Lynn Chen, menilai pidato Yellen tidak seperti yang diharapkan investor karena tidak menyebutkan waktu kenaikan suku bunga. Padahal, dalam risalah rapat The Fed bulan lalu sempat terungkap kecenderungan para pejabat bank sentral AS untuk menaikkan Fed rate pada bulan Juni ini.
(Baca: Rupiah Paling Terpukul Akibat Spekulasi Kenaikan Bunga The Fed)
“Pasar kemudian menjadi skeptis karena ketidakpastian tersebut,” ujar Bipan Rai, Direktur Eksekutif Strategi Makro dan Valuta Asing Canadian Imperial Bank of Commerce di Toronto, Kanada. (Baca: Rupiah Paling Terpukul Akibat Spekulasi Kenaikan Bunga The Fed)
Para investor dan ekonom memperkirakan, kenaikan suku bunga belum akan terjadi bulan ini maupun Juli mendatang. Kemungkinan kenaikan suku bunga baru berlangsung pada September nanti. Alhasil, berdasarkan survei analis oleh Bloomberg, mata uang Amerika Serikat ini diprediksi bakal menguat menjadi US$ 1,10 per euro serta 115 yen pada akhir tahun nanti.