Whistleblower terpercaya yang mengungkap kejahatan, baik itu orang dalam atau luar, pantas mendapatkan imunitas secara penuh. Sebelum pemerintah merancang perlindungan hukum untuk whistleblower, lembaga-lembaga penegak hukum harus bergantung kepada sumber mereka sendiri, atau ulasan media global mengenai Panama Papers.
Saya berharap Komisi Eropa, Parlemen Inggris, Kongres Amerika Serikat dan semua negara ikut mengambil tindakan. Bukan hanya melindungi para whistleblower, juga mengakhiri tindak kejahatan korporasi. Di Uni Eropa, setiap korporasi yang terdaftar di sana harus bisa diakses secara bebas, termasuk untuk data lengkap menyangkut para pemiliknya.
Inggris boleh berbangga dengan kebijakan domestiknya sejauh ini, tapi tetap saja perlu menghapuskan kerahasiaan finansial dari setiap tertitorial pulau. Amerika Serikat pun tidak boleh begitu saja percaya kepada 50 negara bagiannya untuk data korporasi. Kongres harus mengambil langkah dan menciptakan transparansi dengan menetapkan standar untuk mengakses data secara publik.
Namun yang terpenting adalah mengimplementasikannya. Di Amerika Serikat, sudah menjadi rahasia umum bahwa para pejabat terpilih menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk menggalang dana. Penghindaran pajak tidak bisa serta merta diberantas jika para pejabat masih menerima uang dari para elit yang mendapat insentif terbesar. Praktik politik menjijikkan ini sudah menjadi lingkaran setan dan tidak bisa dibiarkan. Reformasi sistem finansial Amerika Serikat yang bobrok harus segera dilakukan.
Itu baru satu persoalan. Perdana Menteri New Zealand John Key tutup mulut mengenai peran negaranya dalam kecurangan finansial Mekah di Kepulauan Cook. Di Inggris, para loyalis monarki yang disebut The Tories, menyembunyikan perusahaan cangkang mereka. (Baca: Heboh Panama Papers Mengguncang Berbagai Negara).
Direktur Jaringan Penegakan Hukum Finansial di Perbendaharaan Amerika Serikat, Shasky Calvery, mengundurkan diri karena berkasus dengan salah satu bank terbesar, HSBC. Bukan suatu kebetulan kantor pusatnya berada di London. Yang terjadi di Amerika Serikat ini telah membuat para penikmat keuntungan berdoa agar pengganti Calvery bisa diajak bekerja sama. Di tengah ketakutan para politikus yang akan menghadapi kekalahan, pandangan bahwa status quo tidak bisa diubah, telah dipatahkan. Sementara itu, Panama Papers menjadi bukti adanya penyakit dalam masyarakat dan kemerosotan moral yang merajalela.
Akhirnya persoalan ini naik ke permukaan. Bukan hal yang mengagetkan bahwa hal tersebut memakan waktu panjang. Selama 50 tahun, mereka yang menduduki kursi eksekutif, legislatif, dan yudikatif di seluruh dunia gagal melucuti suaka pajak di dunia. Bahkan hingga kini, Panama menyatakan ingin dikenal lebih dari sekedar dokumen-dokumen yang terkuak. Namun nyatanya, pemerintah Panama baru mendalami satu dari sekian banyak perusahaan cangkang yang ada.
Bank, regulator finansial dan instansi pajak telah gagal. Mereka tidak fokus pada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Pengadilan juga telah gagal. Para hakim sering setuju begitu saja terhadap argumen mereka yang kaya, mereka yang menyewa pengacara –bukan hanya Mossack Fonseca– dengan kemahiran mengakali hukum, yang sekaligus bisa melakukan segalanya yang menodai kebenaran.
Media juga gagal. Banyak jaringan pemberitaan yang malah memparodikan diri mereka sendiri. Tidak sedikit miliarder menjadi pemilik surat kabar sekedar untuk memuaskan hobi. Ulasan serius mengenai kekayaan dan investigasi serus lainnya tidak mendapat dana yang cukup. Dampaknya sangat nyata. Selain Süddeutsche Zeitung dan ICIJ, sejumlah media besar tidak menampilkan kajian ulang mengenai Panama Papers dari para editornya. Mereka memilih untuk tidak mengulasnya. Yang menyedihkan, media-media yang terpercaya di dunia bahkan tidak tertarik memberitakannya.
Namun di atas segalanya, kegagalan dialami mereka yang berprofesi di bidang hukum. Pemerintahan demokratis bergantung kepada individu yang bertanggung jawab atas semua sistem, yang memahami dan menegakkan hukum, bukan yang mengerti hukum dan malahan menyalahgunakannya. Secara umum, para pengacara sudah sangat korup. Hal seperti ini seharusnya diubah, jauh sebelum Panama Papers naik ke permukaan. Sebagai permulaan, istilah “etika hukum”, yang biasanya merupakan pondasi, telah menjadi omong kosong.
Mossack Fonseca tidak bekerja sendiri. Ada banyak mitra dan kliennya di firma-firma hukum besar secara virtual di setiap negara. Jika kehancuran ekonomi saja belum cukup menjadi bukti, sekarang tidak bisa dipungkiri bahwa pengacara seharusnya tidak lagi diperbolehkan untuk mengatur satu sama lain. Ini tidak akan berhasil. Mereka yang berduit selalu bisa menemukan pengacara yang bisa memenuhi keinginan, apakah itu Mossack Fonseca atau firma hukum lainnya yang tidak kita ketahui. Bagaimana dengan masyarakat lainnya?
Dampak dari kegagalan bersama ini telah menggerus standar etika, yang akhirnya menggiring kepada sistem yang kita sebut kapitalisme, tapi yang setara dengan perbudakan ekonomi. Dalam sistem ini, para budak tidak menyadari status mereka dan tuan mereka, yang ada di suatu belahan dunia lainnya, dengan belenggu tak terlihat dan tersembunyi di balik hukum yang tak tersentuh. (Baca: Penjaga Etik BPK di Pusaran Panama Papers).
Kengerian ini telah menyadarkan kita. Namun whistleblower diperlukan untuk membunyikan alarm ini, yang mampu memancing perhatian lebih besar. Hal ini mencerminkan check and balance demokrasi yang telah gagal, sistem yang bobrok, dan ketidakstabilan luar biasa. Ini waktunya untuk mengambil tindakan nyata, dengan mulai mempertanyakan banyak hal.
Para ahli sejarah bisa dengan mudah bercerita mengenai persoalan pajak dan ketidakseimbangan kekuasaan yang mengarah kepada revolusi di masa lalu. Kemudian, militer memegang kewenangan di atas masyarakat. Sekarang, pembatasan akses informasi dianggap efektif karena hukum seperti tidak terlihat.
Saat ini kita hidup di masa ketika penyimpanan data digital tidak lagi mahal dan tidak terbatas. Selain itu, koneksi internet cepat telah melampaui batas-batas negara. Tidak sulit untuk menghubungkan titik-titik yang ada: dari awal hingga akhir. Dengan terciptanya distribusi media dunia, revolusi yang selanjutnya akan hadir. The next revolution will be digitized. Atau bahkan sudah hadir.