Dengan wajah tegang, Sigmundur Davíð Gunnlaugsson mendadak bangkit dari kursinya dan mengakhiri wawancara dengan sebuah stasiun televisi Swedia dan media lokal di Islandia, Reykjavik. Amarah Perdana Menteri Islandia ini terbit karena terus dicecar dengan pertanyaan soal perusahaannya di British Virgin Islands (BVI), yang terungkap dalam dokumen “Panama Papers”. Dokumen berisi bocoran data rekening dan perusahaan cangkang 12 pemimpin dan mantan pemimpin dunia, puluhan ribu pengusaha, atlit dan selebriti mancanegara di negara-negara tax haven (suaka pajak) yang dipublikasikan pada awal pekan ini, memang telah menghebohkan dunia.

Semula, meski dengan raut wajah tegang dan suara terbata-bata, Gunnlaugsson masih bersedia menjelaskan ihwal rekening tersebut. Ia mengaku istrinya, Anna Sigurlaug Palsdottir telah meneken perjanjian pembukaan rekening  atas nama perusahaan khusus dengan tujuan tertentu atau Special Purpose Vehicle (SPV) di BVI pada 2015. Perusahaan cangkang itu untuk menampung uang jutaan dolar dari hasil penjualan warisan keluarga sang istri.

Advertisement

Tapi, dia mengaku tak tahu-menahu soal aktivitas SPV itu dan menjamin selalu melaporkan pembayaran pajak sejak didirikan tahun 2007. Saat didesak lebih detail mengenai apa saja aset perusahaan tersebut, Gunnlaugsson memutuskan mengakhiri wawancara. "Apa tujuan kalian? Ini sungguh tidak pantas," katanya dalam sebuah rekaman video yang dipajang di situs theguardian.com, Minggu (3/4).

Namun, dokumen Panama Papers mengungkapkan fakta berbeda. Dokumen hasil investigasi organisasi wartawan global yakni International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) bersama 107 organisasi media di 80 negara terhadap 11,5 juta dokumen milik firma hukum Mossack Fonseca di Panama sejak tahun lalu, menunjukkan Gunnlaugsson berupaya menghindari pajak di negaranya dengan menumpuk hartanya di perusahaan offshore Wintris. Ini adalah perusahaan yang dimiliki bersama istrinya.

Seperti dikutip BBC.com, salah satu media yang turut dalam investigasi ICIJ, catatan pengadilan menyatakan Wintris memiliki investasi signifikan berupa obligasi dari tiga bank besar Islandia yang tutup akibat krisis ekonomi tahun 2008. Perusahaan ini pun tercatat sebagai kreditor atas jutaan dolar klaim di tiga bank yang bangkrut tersebut. Namun, sejak menjadi Perdana Menteri pada 2013, Gunnlaugsson menolak membayar deposito para nasabah di tiga bank itu agar nilai obligasi yang dimiliki Wintris tidak anjlok.

(Baca: Unit Khusus Pajak Telisik Ribuan Nama WNI dalam Panama Papers

Bantahan Gunnlaugsson dan fakta yang terungkap di dalam Panama Papers itu, telah memicu kemarahan rakyat Islandia. Seperti dilansir Russia Today, sekitar 22 ribu warga negara di Eropa Utara itu turun ke jalan dan berdemonstrasi di dekat gedung parlemen di ibukota Reykjavik, Selasa ini (5/4). Mereka melempari gedung parlemen dengan telur dan yogurt untuk menuntut pengunduran diri Gunnlaugsson.

Panama Papers juga membuat pemerintah Cina “panas-dingin”. Pemerintah setempat mulai membatasi liputan terkait dokumen tersebut lantaran nama Presiden Cina Xi Jinping juga disebut-sebut memiliki perusahaan offshore. Semua kata kunci “Panama Papers” diblokir di mesin pencari Weibo. Juru bicara Menteri Luar Negeri Tiongkok, Hong Lei menolak berkomentar karena menganggap investigasi ICIJ itu tidak berdasar.

Bahkan, pemerintah Cina menuding investigasi tersebut terlalu bias terhadap negara-negara nonbarat. Sebab, tidak mencantumkan nama-nama pemimpin negara barat.

Pemerintah Rusia juga bereaksi keras terhadap Panama Papers, dengan menyebutnya sebagai "Putinophobia". Sebab, dokumen itu mengungkap jejak dana sekitar US$ 2 miliar milik orang-orang dekat Presiden Rusia Vladimir Putin, yang bermuara di perusahaan cangkang di negara tax haven.

(Baca: Terseret Panama Papers, Pertamina Klaim Patuh Pajak)

Pemimpin negara lainnya yang terjerat Panama Papers adalah Presiden Ukraina Petro Poroshenko. Ia mendirikan perusahaan offshore di BVI saat tentara Ukraina bertempur dengan para pemberontak pro-Rusia. Sejumlah dokumen yang bocor dari Mossack Fonseca menyebut Poroshenko mendaftarkan perusahaannya, Prime Asset Partners Ltd., pada 21 Agustus 2014. 

Di Inggris, The Guardian dan BBC yang menggolongkan peredaran 11,5 juta dokumen ini sebagai kebocoran terbesar sepanjang sejarah, mengungkap peran seorang bankir asal Inggris bernama Nigel Cowie. Pria yang tinggal selama 20 tahun di Korea Utara ini mendirikan perusahaan offshore, yang dituding untuk menyokong pendanaan rezim Pyongyang dalam perdagangan senjata dan pengembangan program nuklir.

Halaman:
Reporter: Ameidyo Daud Nasution, Maria Yuniar Ardhiati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement