KATADATA - Dalam tiga bulan terakhir, Bank Indonesia (BI) agresif memangkas suku bunga acuan BI rate. Tujuannya mendorong perbankan agar lebih rajin menurunkan suku bunga simpanan dan kredit, sehingga turut perekonomian. Namun, para ekonom mengingatkan, penurunan suku bunga secara cepat berpotensi mengancam stabilitas perbankan.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Anton Gunawan menilai, langkah BI melonggarkan kebijakan moneternya melalui instrumen BI rate bermanfaat untuk menurunkan suku bunga perbankan. Seperti diketahui, Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada Kamis pekan lalu (17/3), memutuskan menurunkan BI rate sebesar 25 basis poin menjadi 6,75 persen. Ini merupakan penurunan suku bunga acuan yang ketiga kali sejak awal tahun.
Namun, Anton mengkhawatirkan penurunan bunga yang terlalu cepat dan dalam jumlah besar akan membahayakan likuiditas perbankan. Pasalnya, dapat mendorong nasabah berpaling ke instrumen investasi surat utang sehingga menggerus dana pihak ketiga (DPK) di perbankan. "Dengan terlalu cepat, saya khawatir, itu tidak bisa. Itu akan ada dampak negatif dari beberapa hal, seperti terjadinya crowding out," katanya dalam acara dialog “Konsultasi IMF Pasal IV 2015 untuk Indonesia” di Jakarta, Senin (21/3).
Apalagi, beberapa kebijakan pemerintah sebelumnya telah menekan likuiditas perbankan. Pertama, Peraturan Otoritas Jasa keuangan (POJK) yang mewajibkan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) memegang Surat Utang Negara (SUN) dengan porsi 20-50 persen. Tujuannya untuk memperbesar kepemilikan lokal di SUN. Dari aturan ini, Anton menghitung dana Rp 63 triliun keluar dari bank.
(Baca: BI Rate Turun 3 Kali, BI Menilai Kebijakannya Belum Efektif)
Kedua, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang memindahkan dana desa dan transfer daerah dalam bentuk surat utang. Kebijakan ini dikhususkan bagi daerah yang tidak membelanjakan dananya untuk pembangunan infrastruktur. Dari kebijakan ini, Anton menghitung dana Rp 50 triliun keluar dari perbankan.
Ketiga, langkah pemerintah menerbitkan surat utang untuk pembiayaan di awal tahun (front loading). Menurut Anton, kondisi tersebut akan memicu persaingan dan perebutan dana antara bank dan pemerintah. Meskipun di sisi lain, BI berupaya menambah likuiditas bank dengan menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 1 persen pada Februari lalu. Gubernur BI Agus Martowardojo pernah menyatakan, penurunan GWM itu akan menambah likuiditas bank sekitar Rp 34 triliun.
(Baca: Berebut Dana dengan Pemerintah, BI Nilai Likuiditas Bank Cukup)
Namun, Anton melihat, BI sebenarnya masih khawatir terhadap potensi aliran keluar dana asing dari instrumen-instrumen keuangan jangka pendek. Karena itu, BI menaikkan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) jangka panjang untuk menarik likuiditas dari pasar. Hal ini juga sebagai langkah menjaga rupiah tetap stabil. Tapi, akibatnya likuiditas akan semakin mengetat. "Mau menurunkan suku bunga tidak masalah, tapi hati-hati," katanya.
(Baca: Rajin Jual SUN, Pemerintah Antisipasi Rebutan Dana dengan Bank)
Di sisi lain, perbankan masih kesulitan menurunkan bunga kredit dan deposito dalam waktu cepat. Apalagi, biaya pengumpulan dana (overhead cost) dari Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) masih cukup tinggi, yaitu sekitar tujuh persen. Karena itulah, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) bisa kewalahan dan terancam tutup gara-gara kesulitan menyerap likuiditas dari UMKM.
Pandangan serupa disampaikan Ekonom Universitas Atmajaya, Agustinus Prasetyantoko. Menurut dia, penurunan BI rate yang terlalu cepat akan mengganggu stabilitas makro, khususnya di sektor keuangan. "BI rate memang menjadi benchmark bagi bunga yang lain. Tapi harus diperhatikan dampaknya. Kalau lending rate tidak bisa didorong turun maka konsumsi dan investasi tidak bisa didorong jauh," katanya.