Rajin Jual SUN, Pemerintah Antisipasi Rebutan Dana dengan Bank
KATADATA - Di awal tahun ini, pemerintah terlihat agresif menghimpun pendanaan melalui penerbitan surat utang negara (SUN). Dengan iming-iming bunga SUN yang lebih tinggi ketimbang deposito, animo investor sangat besar, baik dari dalam maupun luar negeri. Namun, pemerintah tak khawatir kondisi itu akan mengganggu likuiditas perbankan.
Per 4 Maret lalu, nilai surat utang yang sudah diterbitkan pemerintah mencapai Rp 158,1 triliun. Jumlahnya setara 29,14 persen dari target pembiayaan melalui surat berharga negara (SBN) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 yang sebesar Rp 542 triliun. Dana pinjaman itu untuk membiaya defisit anggaran 2016 yang diperkirakan mencapai Rp 273,2 triliun atau 2,15 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) 2016.
Pada Senin (7/3) lalu, pemerintah secara resmi menjual obligasi syariah (sukuk) ritel senilai Rp 31,5 triliun. Dengan tawaran bunga 8,3 persen, obligasi berjangka waktu tiga tahun ini kebanjiran peminat. Namun, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan menepis kekhawatiran terjadinya pengetatan likuiditas perbankan karena dana simpanan masyarakat di bank tersedot ke obligasi pemerintah.
“Dana masyarakat itu tidak disimpan lama-lama di kas negara. Dipakai lagi buat belanja sehingga uang tersebut kembali masuk ke sistem (perbankan),” katanya di Jakarta, Senin lalu. Hal ini baru menjadi masalah kalau pemerintah tidak segera membelanjakan duit tersebut sehingga terhambat masuk sistem perbankan. Alhasil, likuiditas bank bisa mengetat.
(Baca: Likuiditas Mengetat, Rp 95 Triliun Berpotensi Cabut dari Bank)
Di sisi lain, penerbitan SUN senilai total Rp 542 triliun tahun ini tersebut tidak semuanya bakal menyedot dana segar para investor dan deposan. Menurut Robert, sebanyak Rp 190 triliun surat utang yang diterbitkan untuk menggantikan surat utang lama yang jatuh tempo tahun ini. Selain itu, ada SUN Rp 15 triliun yang tenornya satu tahun serta pembelian kembali SUN senilai Rp 3 triliun. “Kira-kira sekitar Rp 200 triliun (surat utang yang diterbitkan) akan segera kembali lagi (ke sistem perbankan). Jadi, jangan dianggap Rp 540 triliun kami sedot dari perbankan,” katanya.
Jadi, nilai penerbitan SUN yang bisa mempengaruhi dana masyarakat di sistem perbankan sekitar Rp 300 triliun. Namun, 24 persen dari nilai SUN tersebut akan diterbitkan dalam valutas asing (valas) untuk investor global. Robert mengakui, adanya potensi perebutan dana masyarakat (crowding out) di pasar obligasi sehingga likuiditas bank bisa mengetat. Apalagi, likuiditas keuangan di dalam negeri tidak terlalu besar.
(Baca: Likuiditas Ketat, GWM dan BI Rate Berpeluang Turun Jadi 6,5 Persen)
“Makanya porsi asing akan kami perhatikan. (Porsi) 24 persen (SUN untuk asing) itu sudah ditambah untuk mencegah kemungkinan crowding out di pasar domestik,” katanya. Selain itu, pemerintah akan bekerja sama dengan Bank Indonesia (BI) untuk menjaga likuiditas keuangan di dalam negeri. Bentuk koordinasinya antara lain berupa pengaturan penerbitan SUN di pasar domstik dan obligasi global di luar negeri. “Kapan terjadi pengetatan dan kapan tidak.”
Di sisi lain, Robert melihat imbal hasil (yield) SUN cenderung menurun sehingga bisa mendekati bunga deposito bank. Untuk SUN bertenor 10 tahun misalnya, turun dari 9,81 persen menjadi 7,9 persen. “Ini juga sangat baik untuk mengurangi beban bunga utang pemerintah,” katanya.
Risiko mengetatnya likuiditas sebenarnya tidak cuma bersumber dari agresifnya pmerintah menerbitkan SUN. Biang masalahnya adalah kebijakan BI dan pemerintah menekan suku bunga simpanan dan kredit. Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin menyoroti potensi menyusutnya DPK karena perubahan skema penyaluran dana transfer ke daerah dalam bentuk nontunai, seperti SUN. Aturan yang mulai berlaku awal Maret ini akan menyebabkan sebagian dana pemerintah daerah (pemda) yang mengendap di bank, dalam bentuk tabungan, giro, dan deposito, bakal menguap. Ia menghitung, potensi menguapnya dana daerah dari brankas bank mencapai sekitar Rp 25 triliun.
(Baca: Likuiditas Mengetat, Bank Masih Sulit Pangkas Bunga)
Tak cuma itu, DPK perbankan juga terancam menyusut gara-gara peraturan baru Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Beleid yang baru dirilis awal Februari lalu itu mewajibkan seluruh lini Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) menggenggam SUN berkisar 20-50 persen. Tujuannya untuk memperbesar kepemilikan lokal di instrumen utang pemerintah tersebut.
Menurut Budi, peraturan itu akan memicu hengkangnya dana perusahaan asuransi dari perbankan. Ia menghitung, potensi berkurangnya DPK mencapai Rp 70 triliun. Jika ditambah dengan hijrahnya dana daerah maka jumlah DPK yang berkurang sehingga menyebabkan kontraksi likuiditas perbankan sekitar Rp 95 triliun.