KATADATA - Dengan dalih ingin mencukupi pendanaan proyek-proyek infrastruktur, tiga bank besar pemerintah akan mengajukan pinjaman kembali kepada Bank Pembangunan Cina (China Development Bank/CDB). Padahal dengan alasan serupa, tiga bank tersebut -Bank Rakyat Indonesia, Bank Negara Indonesia, dan Bank Mandiri- sudah mendapat utang dari CDB senilai US$ 3 miliar atau sekitar Rp 40 triliun pada pertengahan September tahun lalu.
Direktur Utama BRI Asmawi Syam mengatakan ketiga bank tersebut sedang bernegosiasi dengan CDB. Pembahasan berkisar mengenai bunga yang lebih rendah, mengingat beberapa bank sentral sudah menurunkan suku bunga acuan hingga negatif. Dana pinjaman tersebut untuk membiayai pembangunan infrastruktur sepanjang lima tahun ke depan yang diperkirakan mencapai Rp 5.500 triliun. Sebab, likuiditas yang tersedia di dalam negeri hanya Rp 400 - 500 triliun. (Baca: Cina Beri Utang Rp 40 Triliun untuk Tiga Bank BUMN).
“Jumlahnya belum pasti. Tetapi kebutuhan (untuk infrastruktur) itu ada. Kami baru bicara terkait penambahan itu,” kata Asmawi usai rapat dengar pendapat dengan Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, Jakarta, Selasa, 15 Maret 2016. Ketua Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) itu masih menghitung secara pasti kebutuhan pembangunan infrastruktur tahun ini.
Upaya pinjaman ini sebenarnya memicu kontroversi pada tahun lalu. Ketika itu, Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rohan Hafas membantah isu yang menyebutkan pemerintah menjaminkan ketiga bank pelat merah ini untuk mendapatkan dana tersebut. Pinjaman yang ditandatangani pada 16 September 2016 bersifat business to business. “Ini kan hoax. Nggak mungkin sahamnya jadi milik Cina, kalau pun kami nggak bisa bayar,” kata Rohan kepada Katadata. (Baca: Ini Alasan Tiga Bank BUMN Pinjam Dana dari Cina).
Menurut dia, bank asal Cina itu memberi syarat bahwa pinjaman ini untuk pembiayaan infrastruktur yang membutuhkan dana besar dan berjangka panjang. Misalnya, untuk membangun pembangkit listrik program 35 giga watt (GW) yang total kebutuhannya mencapai Rp 1.200 triliun dalam lima tahun. Maka per tahunnya mencapai Rp 240 triliun.
Sayang, begitu waktu berjalan, uang yang sudah masuk ke bank-bank tersebut sebagia besar malah tidak disalurkan untuk proyek infrastruktur. Sebagian malah lari ke industri manufaktur. Namun perusahaan yang menerima merupakan nasabah lama tiga bank tersebut, sehingga pinjaman ini menjadi pembiayaan kembali atau refinancing. (Baca: Utang Bank BUMN dari Cina Banyak Mengalir ke Sektor Manufaktur).
Karena itu, di depan anggota DPR, kali ini Asmawi berjanji akan memastikan porsi utang baru akan lebih besar untuk infrastruktur. Dia membenarkan bila pinjaman sebelumnya lebih banyak tersalurkan ke industri manufaktur dan perdagangan karena butuh proses yang cepat. Melalui skema refinancing dengan nasabah lama, proses penyaluran kredit menjadi lebih cepat.
Selain dengan Cina, Himbara juga sedang mengkaji pinjaman dari negara lain seperti Jepang. Apalagi, kata Direktur Utama BNI Achmad Baiquni, otoritas Negeri Sakura tersebut tengah mengkaji kembali aturan yang memungkinkan dihilangkannya persyaratan jaminan. Jika rencana perubahan undang-undang tersebut disetujui parlemen, pinjaman ke Jepang sangat menggiurkan. Apalagi negara itu menerapkan bunga negatif.
“Pinjaman seperti ini banyak kami jajaki. Jepang itu berikan pinjaman G to G (Government to Government) dan selalu ada jaminan. Sekarang Jepang sedang revisi undang-undangnya untuk tidak ada jaminan itu. Ini yang kami nanti,” ujar dia. (Lihat pula: Skenario Berlapis Menambal Defisit: Utang Luar Negeri dan Pakai Sisa Anggaran).
Sebagian anggota Komisi Keuangan DPR nampaknya mendukung langkah ketiga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini. Dana tersebut diharapkan akan mengimbangi pembiayaan bank untuk infrastruktur yang sifatnya jangka panjang. Dengan begitu, bank tak lagi mengandalkan dana murah dan deposito untuk mendapat likuiditas, tetapi melalui pinjaman multilateral atau bilateral, maupun dengan menerbitkan surat utang.
“Kata-kata pinjaman ke luar negeri itu sulit diterima rakyat. Padahal dalam bisnis kalau orang mau bangun harus pinjam. Tapi, pemerintah malah menerbitkan surat utang, itu bunganya mahal. Kalau G to G bunganya rendah, tapi takut,” ujar Ketua Komisi Keuangan Ahmadi Noor Supit.