Skenario Berlapis Menambal Defisit: Utang Luar Negeri dan Pakai Sisa Anggaran
KATADATA - Anggaran negara di pengujung tahun ini terancam jebol akibat membengkaknya kekurangan realisasi penerimaan (shortfall) pajak hingga Rp 160 triliun. Demi menambal defisit anggaran yang berpotensi membesar hampir 2,6 persen dari produk domestik bruto (PDB), pemerintah mempersiapkan dua skenario berlapis.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mencatat, belanja pemerintah hingga 5 November lalu sudah mencapai 71 persen dari pagu Rp 1.984,1 triliun. Sedangkan penerimaan atau pendapatan negara sebesar 63 persen dari pagu Rp 1.761,6 triliun. Artinya, defisit anggaran mencapai Rp 298,9 triliun atau sebesar 2,55 persen dari PDB tahun ini yang sekitar Rp 11.710 triliun.
Namun, pemerintah memperkirakan defisit anggaran akan melebar menjadi 2,59 persen dari PDB hingga akhir 2015. Ini lebih tinggi dari target defisit dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2015 yang sebesar 1,9 persen maupun revisi prediksi yang dibuat pemerintah pada pertengahan tahun ini sekitar 2,23 persen. Penyebabnya, realisasi penerimaan pajak per 4 November lalu baru mencapai 59,8 persen dari target total penerimaan pajak senilai Rp 1.294,3 triliun.
(Baca: Penerimaan Pajak Baru 60 Persen, Defisit Anggaran Terancam Membesar)
Pemerintah memperkirakan shortfall pajak hingga akhir 2015 ini mencapai Rp 160 triliun. Bila ditambah dengan shortfall Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Bea Cukai sekitar Rp 20 triliun, kekurangan penerimaan negara tahun ini menjadi sekitar Rp 180 triliun.
Menurut Bambang, bila belanja pemerintah terealisasi sebesar 92 persen maka defisit anggaran mencapai 2,3 persen. Namun, bila realisasi belanja 94 persen maka defisitnya menjadi 2,4 - 2,5 persen. “Kami upayakan defisit (anggaran) di sekitar 2,5 persen. Tidak lebih,” katanya di Sentul, Sabtu lalu (7/11). Dengan ditambah taksiran defisit anggaran daerah 0,3 persen maka total defisit bisa mencapai maksimal 2,8 persen.
Meski begitu, Bambang menjamin arus kas negara masih aman untuk memenuhi kebutuhan belanja hingga akhir tahun ini. “Saya sudah berpengalaman (di pemerintahan), dan kami bisa melewati masa berat itu,” tukasnya.
(Baca: Setoran Pajak Seret, Pemerintah Tambah Utang untuk Menambal Defisit)
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Strategi dan Portofolio Ditjen Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian keuangan Scenaider Siahaan menambahkan, pemerintah menyiapkan dana US$ 5 miliar atau sekitar Rp 67,5 triliun untuk menambal defisit anggaran hingga 2,5-2,6 persen dari PDB. Dari jumlah tersebut, pemerintah telah meraih komitmen pinjaman baru dari lembaga keuangan multilateral, seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB), sekitar US$ 4 miliar. Jenisnya adalah pinjaman program dan pinjaman siaga.
Selain itu, pemerintah tengah menjajaki penerbitan surat utang valas senilai US$ 1 miliar untuk mencukupi kebutuhan pembiayaan defisit anggaran. Awalnya Kementerian Keuangan berencana melego surat utang di dalam negeri, namun dibatalkan karena permintaan bunganya lebih tinggi. Alhasil, pemerintah memilih menerbitkan obligasi valas di luar negeri. “Kalau kami buka dari luar, investor justru lebih banyak. Kami (dulu) terbitkan global bond US$ 7 bilion, paling banyak (pembelinya) dari luar,” imbuh Scenaider.
Bambang menimpali, sebenarnya pemerintah lebih senang berutang ke rakyatnya sendiri. Praktik seperti itu dilakukan pemerintah Jepang dan India. Namun, Indonesia belum bisa melakukannya sekarang karena jumlah investornya masih sedikit. Di sisi lain, menerbitkan surat utang di dalam negeri berisiko kalau terjadi aliran keluar modal asing secara mendadak (sudden reversal). Karena itu, pemerintah saat ini lebih condong memilih menerbitkan surat utang valas di luar negeri untuk menambal defisit anggaran.
Tak cuma mengandalkan pinjaman dari luar negeri, Kementerian Keuangan juga mempersiapkan skenario kedua kalau defisit membengkak melebihi 2,6 persen. Yaitu, menggunakan Sisa Anggaran Lebih (SAL) tahun 2015 senlai Rp 55,6 triliun. Penggunaan SAL ini dimungkinkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 163/PMK.05/2015 bahwa pelebaran defisit bisa dibiayai oleh SAL, penarikan pinjaman siaga, dan penerbitan surat berharga negara (SBN).
Masalahnya, nilai penerbitan SBN sudah maksimal. Per Agustus lalu, realisasi penerbitan SBN mencapai Rp 279,9 triliun atau 94 persen dari rencana tahun ini. Selain itu, pemerintah sudah menambah utang sebesar US$ 5 miliar untuk menutup defisit anggaran.
Jadi, jalan satu-satunya menambal defisit anggaran kalau melebihi 2,6 persen adalah menggunakan SAL. Padahal, berdasarkan ketentuan, SAL harus pada batas yang aman untuk menjaga ketersediaan arus kas pemerintah.