Hikmahanto: Kebijakan Harus Dilihat Konteks Waktu

Arief Kamaludin | Katadata
KATADATA | Arief Kamaludin
Penulis:
Editor: Arsip
26/5/2014, 09.56 WIB

KATADATA ? Penilaian atas sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh sebuah institusi negara, mesti dilihat berdasarkan konteks waktu saat kebijakan tersebut dilakukan.

Demikian dikatakan Hikmahanto Juwana, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, menanggapi langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempidanakan kebijakan Bank Indonesia dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk menyelamatkan Bank Century pada November 2008.

?Apakah keputusan itu benar atau salah, gunakan kacamata yang berlaku saat itu. Jangan pakai kacamata yang berlaku sekarang,? kata dia yang ditemui seusai diskusi ?Menyelamatkan Isi Perut Bumi? di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (23/5) lalu.

Dia menambahkan, KPK dapat melihat konteks waktu pada saat itu dengan melihat pemberitaan media massa ketika itu. Selain itu dapat bertanya dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) di bidang perekonomian dan perbankan pada waktu itu.

?Mengecek misalkan bagaimana Perbanas (Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional) menganggapnya. Apakah kebijakan seperti ini perlu diambil atau tidak? Termasuk pemberitaan media seperti apa?? ujarnya.

Dalam pandangan Hikmahanto, salah satu faktor yang diabaikan dalam melihat kasus ini adalah faktor trauma yang dihadapi oleh para pengambil keputusan. Hal ini terutama kekhawatiran terulangnya krisis seperti yang terjadi pada 1998.

Pengalaman terjadinya krisis 1998 tersebut yang kemudian menjadi dasar penyelamatan Bank Century.  ?Keputusan diambil ujung-ujungnya intuisi yang kita pakai. Berdasarkan pengalaman,? kata Hikmahanto.

?Kalau dibilang feeling itu punya pengalaman seperti apa, bukan pakai perasaan seperti apa. Misalkan hakim di Indonesia dengan hakim di Malaysia, dengan pakai data yang sama mungkin intuisinya berbeda. Karena ambil keputusan pasti beda.?

Menurutnya, langkah pencegahan terjadinya krisis pada 2008 juga termasuk situasi darurat, tanpa harus terjadi krisis terlebih dahulu baru melakukan tindakan. Apalagi pemerintah ketika itu mengeluarkan tiga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).

?Menurut saya intuisinya lebih baik mencegah dulu,? kata Hikmahanto. ?Lebih baik konservatif, lebih baik risiko ambil saja. Yang tidak boleh (adalah) menilai kebijakan setelah terjadi kebijakan itu, terus kemudian menggunakan kata maca sekarang.?

Sebelumnya, dua saksi ahli hukum yang dihadirkan jaksa KPK pada persidangan kasus Century, yakni Guru Besar Ahli Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Purwokerto) Kuat Puji Prayitno dan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Sebelas Maret (Solo) Supanto, menyatakan bahwa kebijakan KSSK menyelamatkan Century dengan alasan situasi krisis tidak bisa dibenarkan.

Sebab, menurut Puji, sebuah tindakan darurat sebagai pembenar kebijakan, hanya bisa dilakukan bila kondisi krisis terjadi. Sedangkan kebijakan yang dilakukan sekadar untuk mencegah terjadinya krisis, tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan darurat. Hanya bersifat antisipasi.

Argumen saksi ahli tersebut dipertanyakan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Eddy OS Hiariej. Eddy menegaskan bahwa dilansirnya tiga Perppu pada 2008 merupakan bukti adanya situasi krisis, yang kemudian menjadi dasar dari ditempuhnya kebijakan penyelamatan Bank Century.  

Adapun dasar hukum penerbitan Perppu adalah Undang-undang Dasar 1945. Dalam pasal 22  disebutkan bahwa dalam hal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan Perppu. ?Jadi keadaannya darurat? ujarnya kepada Katadata. ?Kalau (sekadar) antisipasi, tidak mungkin dikeluarkan Perppu.?
(Baca: Pakar Hukum UGM Kritik Saksi Ahli KPK)

Reporter: Rikawati