OJK Kembali Buat Aturan Relaksasi untuk Jaga Likuiditas dan Modal Bank

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Ilustrasi, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso. OJK kembali mengeluarkan kebijakan relaksasi bagi perbankan dengan harapan mampu memberikan ruang likuiditas dan permodalan di tengah pandemi corona.
Penulis: Agung Jatmiko
28/5/2020, 10.53 WIB

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali mengeluarkan kebijakan relaksasi di sektor perbankan. Tujuannya memberikan ruang likuiditas lebih longgar bagi perbankan di tengah pandemi virus corona atau Covid-19.

Deputi Komisioner Humas Dan Logistik OJK Anto Prabowo menjelaskan, kebijakan relaksasi tambahan ini diharapkan mampu memberikan ruang likuiditas dan permodalan bagi bank. Sehingga, stabilitas sektor keuangan tetap terjaga di tengah pandemi corona.

"Kebijakan stimulus lanjutan ini dikeluarkan setelah OJK mencermati dampak pandemi Covid-19 cenderung menurunkan aktivitas perekonomian, sehingga berefek kepada sektor keuangan melalui transmisi pelemahan sektor riil," kata Anto dalam siaran pers, Kamis (28/5).

Kebijakan stimulus lanjutan ini dibagi menjadi dua dalam hal peruntukannya, yakni untuk bank umum konvensional, dan syariah. Kedua, ditujukan untuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan BPR syariah (BPRS).

Bagi bank umum konvensional dan bank umum syariah, relaksasi yang diberikan terbagi menjadi tiga. Pertama, pelaporan atas kredit atau pembiayaan yang direstrukturisasi.

Pada sistem pelaporan pada Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) dengan kolom Kode Sifat Kredit atau Pembiayaan diisi "1", yang artinya kredit yang direstukturisasi. Kemudian, dalam kolom keterangan diisi "Covid-19".

Kemudian, perlakuan kredit sesuai Peraturan OJK (POJK) stimulus dikecualikan dari perhitungan aset berkualitas rendah atau Loan at Risk (LAR) dalam penilaian tingkat kesehatan bank.

(Baca: OJK Sebut Program Penyangga Likuiditas Tak akan Rugikan Bank)

Selain itu, perbankan dapat melakukan persetujuan restrukturisasi kredit dengan beberapa alternatif tata kelola namun tetap memperhatikan prinsip obyektivitas, independensi, menghindari benturan kepentingan, dan kewajaran.

Kedua, OJK melakukan penyesuaian beberapa ketentuan perbankan selama periode relaksasi, antara lain meniadakan kewajiban pemenuhan capital conservation buffer dalam komponen modal sebesar 2,5% dari Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR).

Relaksasi ini diterapkan bagi bank yang masuk klasifikasi Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) III dan IV,  berlaku hingga 31 Maret 2021.

Kemudian, kewajiban pemenuhan liquidity coverage ratio (LCR) dan net stable funding ratio (NSFR) bagi bank BUKU III dan BUKU IV, serta bank asing harus dipelihara minimal 85% hingga 31 Maret 2021. Bank wajib menyusun rencana tindak untuk mengembalikan pemenuhan LCR dan NSFR menjadi 100%, paling lambat 30 April 2021.

OJK juga membolehkan penghentian sementara penilaian kualitas agunan yang diambil alih (AYDA) sampai 31 Maret 2021. Setelah itu, penilaian kualitas AYDA kembali pada ketentuan mengenai penilaian kualitas aset bank berdasarkan periode kepemilikan oleh bank sejak AYDA dieksekusi, tanpa memperhitungkan periode relaksasi.

"Lalu, OJK juga membolehkan kewajiban penyediaan dana pendidikan boleh kurang dari 5% dari anggaran sumber daya manusia," ujar Anto.

(Baca: OJK Pilah Tiga Kelompok Prioritas Penerima Keringanan Kredit Bank)

Ketiga, penerapan Basel III, dengan perhitungan perhitungan aset tertimbang menurut risiko (ATMR) untuk risiko operasional, perhitungan ATMR untuk risiko kredit, perhitungan ATMR untuk risiko pasar, dan credit valuation adjustment (CVA) ditunda menjadi 1 Januari 2023.

Dengan demikian, dalam perhitungan Ketentuan Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sampai dengan periode data Desember 2022, bank masih mengacu pada ketentuan mengenai ATMR yang saat ini berlaku.

Sedangkan, untuk BPR dan BPRS, OJK membolehkan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP) umum kurang dari 0,5% atau tidak membentuk PPAP umum.

Kebijakan ini, berlaku untuk aset produktif dengan kualitas lancar berupa penempatan pada bank lain, dan kredit dengan kualitas Lancar untuk laporan bulanan sejak posisi April 2020.

Kedua, penyediaan dana dalam bentuk penempatan dana antar bank (PDAB) untuk penanggulangan permasalahan likuiditas BPR dan BPRS dikecualikan dari ketentuan BMPK atau BMPD, maksimal 30%. Kebijakan ini berlaku hingga 31 Maret 2021.

(Baca: OJK Catat Total Restrukturisasi Kredit Terdampak Corona Rp 1.114 T)

Ketiga, Perhitungan AYDA berdasarkan jangka waktu kepemilikan dapat dihentikan sementara sampai dengan 31 Maret 2021. Selanjutnya, BPR dan BPRS dapat menggunakan persentase AYDA 31 Maret 2020 sebagai faktor pengurang modal inti.

Hal ini diharapkan dapat membantu bank memperkuat permodalan yang disebabkan kerugian sebagai dampak pandemi Covid-19.

Keempat, BPR dan BPRS dapat menyediakan dana pendidikan, pelatihan dan pengembangan SDM tahun 2020 kurang dari 5 persen dari realisasi biaya SDM tahun sebelumnya.

Sebelumnya, OJK sudah menerbitkan kebijakan restrukturisasi kredit untuk perbankan dan restrukturisasi pinjaman di perusahaan pembiayaan. Hingga 18 Mei 2020, tercatat ada 95 bank telah melakukan restrukturisasi terhadap 4,9 juta debitur, dengan outstanding kredit Rp 458,8 triliun.

Sementara, untuk perusahaan pembiayaan tercatat ada 183 perusahaan yang melakukan restrukturisasi terhadap 2,1 juta kontrak hingga 26 Mei 2020. Total outstanding kredit yang direstrukturisasi mencapai Rp 66,78 triliun.

(Baca: Pemulihan Ekonomi akibat Pandemi Corona Bakal Telan Anggaran Rp 318 T )