Dunia perbankan terus mengadaptasi perkembangan bisnis digital. Setelah fitur e-banking menjadi kewajaran, kini beberapa bank berencana mentransformasi keseluruhan bisnisnya menjadi bank digital.
PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) misalnya, bakal mengubah nama Bank Royal Indonesia menjadi Bank Digital BCA. Bank milik Grup Djarum itu sebelumnya telah mengakuisisi Bank Royal pada November 2019. Pergantian nama Bank Royal menjadi Bank Digital BCA rencananya bakal dilakukan pada semester II 2020.
Direktur Keuagan BCA Vera Eve Lim menyatakan, perusahaan akan melakukan soft launching, sebelum memperkenalkan produk pertama Bank Digital BCA kepada masyarakat. “Soft opening akan diadakan secara internal dulu untuk aplikasi yang kita siapkan saat ini,” kata Vera dalam konferensi pers virtual, Rabu (27/5).
(Baca: BCA Restrukturisasi Kredit 72 Ribu Debitur Senilai Rp 82,6 Triliun)
Dia menyebut, setelah diakuisisi oleh Bank BCA, Bank Royal Indonesia akan memiliki modal inti sebesar Rp 1,3 triliun. Namun modal itu masih lebih rendah dari yang disyaratkan Otoritas Jasa Keungan (OJK) bahwa modal inti minimum bank senilai Rp 3 triliun.
Regulasi ini diatur melalui Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum. Pemenuhan modal inti tersebut harus dicapai bank paling lambat 31 Desember 2022.
Bagaimanapun, menurut Hera, sebagai bagian dari bank umum kelompok usaha (BUKU) IV, anak usaha BCA dimungkinkan untuk tidak memenuhi modal inti sebesar Rp 3 triliun. Sebab, anak usaha akan memiliki menajemen risiko yang lebih terintegrasi yang dapat dilihat langsung ke induk perusahaan.
"Kami Bank BUKU IV dan tidak harus memenuhi persyaratan modal inti Rp 3 Triliun. Untuk sementara kami lihat suntikan modalnya ke Bank Royal cukup,” ujar Hera.
Sebelumnya, BCA menggelontorkan dana hampir Rp 1 triliun untuk mengambil alih seluruh saham Bank Royal dari keluarga Soemedi yang memiliki usaha baja di PT Master Steel Mfg dan PT Pulogadung Steel.
(Baca: Pandemi Corona, BCA Turunkan Batas Maksimal Tarik Tunai Kartu Kredit)
Keluarga Soemedi memiliki saham Bank Royal melalui PT Royalindo Investa Wijaya sebesar 82,70%, kemudian Leslie Soemedi menguasai 5,71% saham, serta Ibrahim Sumedi, Herman Soemedi, dan Ko Sugiarto masing-masing menguasai 2,94% saham, dan Nevin Soemedi menguasai 2,77% saham. Setelah akta akuisisi diteken, BCA menguasai 99,99% saham Bank Royal, sedangkan 0,01% dimiliki oleh PT BCA Finance.
Bank Artos
Sebelum mengumumkan akuisisi Bank Royal, BCA juga sempat diisukan akan membeli Bank Artos. Namun, Bank Artos mendapat investor lain, yakni Jerry Ng dan Patrick Walujo untuk mewujudkan transformasi menjadi bank digital.
Jerry Ng dan Patrick Walujo menyelesaikan proses akuisisi 51% saham pada 26 Desember 2020 lalu. Jerry Ng masuk melalui PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia (MEI), sedangkan Patrick Walujo lewat Wealth Track Technology Limited (WTT).
Kemudian, perseroan juga menerbitkan saham baru dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atau rights issue dengan target dana mencapai Rp 1,34 triliun.
Dana tersebut bakal digunakan untuk pengembangan infrastruktur, pengembangan teknologi informasi, dan sumber daya manusia. Dana right issue juga digunakan untuk perbaikan struktur permodalan.
(Baca: Bank-bank Kecil Berlomba Tambah Modal lewat Penjualan Saham Baru)
Bagaimanapun, dalam laporan keuangan perusahaan yang dirilis di Bursa Efek Indonesia (BEI), Bank Artos mengalami peningkatan kerugian bersih di periode yang 31 Maret 2020 sebesar 321,02%. Kerugian perusahaan membengkak menjadi Rp 25,37 miliar dari kerugian di periode yang sama tahun sebelumnya senilai Rp 6,02 miliar.
Penyebabnya, pos beban operasional bank yang sebelumnya dimiliki oleh keluarga Arto Hary ini mengalami peningkatan signifikan. Seluruh komponen di pos ini mengalami peningkatan, antara lain provisi dan komisi dibayar, beban penyisihan kerugian aset produktif, beban umum dan administrasi serta beban personalia.
Dukungan Regulator
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong pembentukan bank digital alias bank virtual. Apalagi, beberapa negara telah memiliki bank virtual seperti di Singapura dan Hongkong.
Bank virtual merupakan institusi keuangan tanpa kantor cabang fisik di mana semua transaksi dilakukan secara daring (online). "Indonesia juga akan menuju ke sana (seperti Hongkong dan Singapura)," ujar Deputi Komisioner OJK Institute dan Keuangan Digital OJK Sukarela Batunanggar, beberapa waktu lalu.
(Baca: OJK Kembali Buat Aturan Relaksasi untuk Jaga Likuiditas dan Modal Bank)
Ia mengungkapkan, transformasi digital pada perbankan tidak hanya pada proses bisnis tetapi juga mencakup bisnis model. Untuk itu, bank diharapkan bisa lebih responsif dan inklusif.
Kelahiran bank digital sendiri, kata dia, memiliki dua pola. Pertama, bank yang bertransformasi dari model bisnis, strategi bisnis hingga produknya. Kedua, bank digital yang lahir dari nol sebagai bank digital.
Transformasi ini merupakan konsekuensi dari perubahan tatanan sektor keuangan akibat perkembangan teknologi. "Pola konsumsi sudah berubah jadi kami tidak bisa bertahan dengan pola model bisnis yang sekarang. Artinya konsumen mengharapkan dan menuntut perubahan," katanya.