Bank Indonesia mencatat kondisi likuiditas perbankan melonggar di tengah restrukturisasi kredit besar-besaran yang dilakukan selama pandemi Covid-19. Perbankan hingga Agustus 2020 telah merestrukturisasi 18,64% dari total penyaluran kredit.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjelaskan, fungsi intermediasi perbankan masih lemah akibat permintaan domestik yang belum kuat. Penyaluran kredit pada Agustus 2020 hanya tumbuh 1,04% dibandingkan periode yang sama tahun lalu atau mencapai sekitar Rp 5.548 triliun. Sementara dana pihak ketiga tumbuh kencang mencapai 11,64% menjadi sekitar Rp 6.270 triliun.
"Longgarnya kondisi likuiditas mendorong tingginya rasio alat likuid terhadap DPK yakni 29,22% pada Agustus 2020," ujar Perry dalam konferensi pers, Kamis (18/9).
Rasio AL/DPK tersebut jauh di atas ambang batas yang ditetapkan regulator sebesar 10%. Likuiditas yang longgar juga mendorong suku bunga pasar uang antar bank overnight turun ke level 3,31%, turun signifikan dibandingkan akhir tahun lalu sebesar 4,81%.
Perry menjelaskan longgarnya likuiditas terjadi karena pertumbuhan kredit masih terbatas. Selain akibat permintaan domestik yang lemah, bank berhati-hati dalam menyalurkan kredit seiring berlanjutnya pandemi Covid-19.
BI juga telah menambah likuiditas di perbankan sekitar Rp 662,1 triliun, terutama bersumber dari penurunan Giro Wajib Minimum sekitar Rp 155 triliun dan ekspansi moneter sekitar Rp 491,3 triliun hingga 15 September 2020. .
Di tengah penyaluran kredit yang minim, perbankan telah merestrukturisasi 18,64% dari total penyaluran kredit atau mencapai Rp 1.034 triliun. "Penguatan penjaminan kredit oleh pemerintah diharapkan dapat mendorong fungsi intermediasi perbankan," kataya.
Perry memastikan stabilitas sistem keuangan tetap terjaga meski dampak pandemi Covid-19 tetap harus dicermati. Rasio kecukupan modal perbankan mencapai 22,96%, jauh di atas ambang batas minimal 8%. Rasio kredit bermasalah hingga Agustus juga tercatat sebesar 3,2% secara gross atau 1,15% secara net. Meski meningkat dibandingkan akhir tahun lalu sebesar 2,53% secara gross, rasio NPL tersebut masih berada di bawah ambang batas regulator sebesar 5%.
Direktur Riset Center Of Reform on Economics Piter Abdullah Redjalam menilai pemerintah sebaiknya tak buru-buru memaksa bank mendorong pertumbuhan kredit. Hal ini dapat berisiko pada sistem keuangan.
"Saat seperti ini memang yang dihantam sektor riil, jadi wajar permintaan kredit berkurang," ujar Piter dalam sebuah diskusi virtual, Rabu (16/9).
Di saat seperti ini, pelaku usaha tidak bisa membuka gerainya, mal hingga restoran sangat sepi pengunjung. Dengan demikian, wajar saja dunia usaha belum membutuhkan kredit modal kerja, apalagi kredit investasi.
Bank juga perlu berhati-hati dalam menyalurkan kredit karena risiko menjadi lebih tinggi. Dalam kondisi saat ini, menurut dia, stabilitas sistem keuangan harus lebih diutamakan dibandingkan mendorong ekonomi.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro dalam bahan paparan terkait tantangan dan kondisi ekonomi memproyeksi pernyaluran kredit pada tahun ini hanya akan tumbuh 5%, jeblok dibandingkan tahun lalu yang masih tumbu 6,08%. Penyaluran kredit diproyeksi akan sedikit meningkat pada 2021 menjadi 5%. Lalu berlanjut pada 2020 sebesar 9,5% dan 2023 sebesar 9,9%.