Regulator Tambah Amunisi Penyelamatan Bank di Masa Pandemi

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Ilustrasi. Selain menyempurnakan aturan PLJP BI, amunisi penyelamatan bank sakit juga ditambah melalui kewenangan baru Lembaga Penjamin Simpanan dan Otoritas Jasa Keuangan
29/9/2020, 09.42 WIB

Pemerintah dan otoritas sektor keuangan menyiapkan sejumlah amunisi untuk mengantisipasi kondisi terburuk pada sektor keuangan akibat Pandemi Covid-19. Salah satunya adalah revisi aturan Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek Bank Indonesia

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyebut perubahan ketiga aturan PLJP sudah dalam tahap finalisasi. Dengan begitu, perbankan yang mengalami kesulitan di tengah pandemi Covid-19 dapat segera mengajukan pinjaman likuiditas.

"Perubahan kedua yang dikeluarkan pada 29 April lalu sudah kami sempurnakan," ujar Perry dalam rapat bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (28/9).

Penyempurnaan aturan tersebut sedang dibahas bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Hal tersebut mengingat kewenangan bank sentral terkait PLJP memang telah diatur dalam Perppu Nomor 1 tahun 2020.

Perry menjelaskan penyempurnaan aturan PLJP dilakukan pada tiga aspek. Pertama, pengaturan suku bunga Lembaga Penjamin Simpanan. Kedua, proses percepatan PLJP. Ketiga, penguatan forum koordinasi makroprudensial dan mikroprudensial.

Anggota Komisi XI DPR Jon Enrizal menegaskan PLJP nantinya harus diberikan kepada bank yang memang mengalami kekeringan likuiditas. Terutama kepada bank buku I yang berjumlah sekitar 28 perbankan di Indonesia.

"Selama ini mereka masih merasa sangat sulit mendapatkan likuiditas," kata Jon dalam kesempatan yang sama.

Jon menyebut selama ini bank setral cenderung menyuntikan likuiditas kepada bank besar seperti buku III dan IV. Padahal, bank tersebut sudah kelebihan likuiditas bahkan mendapatkan dana dari pemerintah.

 Dia menjelaskan, penyuntikan likuiditas oleh BI biasanya dilakukan dengan syarat tertentu. Hal tersebut agar dana yang diberikan tidak disalahgunakan.

"Memang sulit menjalankan kebijakan moneter secara pruden dan tidak sembarangan. Namun bank yang memiliki kesulitan likuiditas seperti buku I tetap harus diberikan solusi," ujar dia.

Meskipun tergolong bank kecil, Jon menilai kondisi kesulitan likuiditas 28 bank buku I tentunya akan berdampak pada keseluruhan bank. Dengan demikian, bank-bank tersebut tidak boleh dianggap remeh.

BI sebelumnya menyebut kondisi likuiditas lebih dari cukup sehingga terus mendorong penurunan suku bunga dan kondusif bagi pembiayaan perekonomian. BI sepanjang tahun ini telah menurunkan suku bunga sebesar 2%. Bank sentral juga telah menambah likuiditas alias quantitative easing di perbankan sekitar Rp 662,1 triliun hingga 15 September 2020.

Jumlah tersebut terutama bersumber dari penurunan giro wajib minimum  sekitar Rp 155 triliun dan ekspansi moneter sekitar Rp 491,3 triliun.  Secara perinci quantitative easing pada Januari hingga April 2020 berjumlah Rp 419,9 triliun yang terdiri dari pembelian SBN dari pasar sekunder Rp 166,2 triliun, term repo perbankan Rp 160 triliun, FX swap Rp 40,8 triliun, dan penurunan GWM rupiah.

Kemudian tambahan quantitaive easing pada Mei hingga Septemebr terctaat Rp 242, 2 triliun yang terdiri atasa penurunan GWM Rp 102 triliun, kebijakan tak mewajibkan tambahan giro bagi yang tidak memenuhi RIM Rp 15,8 triliun, dan term repo perbankan serta FX Swap 1244,4 triliun.

Bank sentral juga mencatat longgarnya kondisi likuiditas mendorong tingginya rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga  yakni 29,22% pada Agustus 2020 dan rendahnya suku bunga PUAB overnight, sekitar 3,31% pada Agustus 2020. Longgarnya likuiditas serta penurunan suku bunga kebijakan BI berkontribusi menurunkan suku bunga deposito dan kredit modal kerja pada Agustus 2020 dari 5,63% dan 9,47% pada Juli 2020 menjadi 5,49% dan 9,44%.

Tambahan Kewenangan LPS dan OJK

Selain menyempurnakan aturan PLJP, amunisi penyelamatan bank sakit juga ditambah melalui Lembaga Penjamin Simpanan dan Otoritas Jasa Keuangan. Kewenangan LPS telah diperluas melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 dan Peraturan Pemerintan Nomor 3 Tahun 2020. Salah satunya dapat mulai menawarkan bank bermasalah kepada investor hingga menempatkan dana pada bank yang belum berstatus gagal. 

Dalam PP disebutkan  bahwa penambahan kewenangan LPS dilakukan dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan yang timbul akibat terjadinya pandemi Covid-19 dan/atau untuk menghadapi ancaman krisis ekonomi maupun gangguan stabilitas sistem keuangan yang mencakup penanganan permasalahan bank. LPS antara lain dapat mulai menawarkan bank bermasalah kepada investor hingga menempatkan dana pada bank tersebut.

Lembaga ini juga dapat mulai mempersiapkan penanganan bank sejak ditetapkan dalam pengawasan intesif. Untuk itu, OJK pun berkewajiban untuk memberikan pertukaran data dan/atau informasi kepada LPS, melakukan pemeriksaan bersama, dan kegiatan lain dalam rangka persiapan resolusi bank. Jokowi melalui PP ini bahkan memberikan kewenangan LPS untuk melakukan penempatan dana pada bank yang mengalami masalah likuiditas dan terancam mengalami kegagalan.

Dalam pasal 11 ayat 3 diatur total penempatan dana pada seluruh bank paling banyak 30% dari jumlah kekayaan bank. Penempatan dana pada satu bank paling banyak 2,5% dari total kekayaan LPS. Adapun periode penempatan dana paling lama satu bulan dan dapat diperpanjang paling banyak lima kali.

Tambahan kewenangan juga telah diberikan pemerintah kepada OJK dalam UU Nomor 2 Tahun 2o20. OJK antara lain berwenang untuk memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan guna melakukan penggabungan, pengambilalihan, integrasi, dan atau konversi. Adapun kewenangan tersebut telah diimplementasikan dalam kasus PT BPD Banten Tbk yang sempat mengalami masalah permodalan dan likuiditas. OJK telah memproses merger BPD bekas Bank Pundi ini dengan PT BPD Jabar dan Banten Tbk.

Reporter: Agatha Olivia Victoria