Prioritas OJK 2021: Memacu Konsolidasi Bank hingga Izin Bank Digital

ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/foc.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso (kiri) memberikan sambutan yang disaksikan secara virtual oleh Presiden Joko Widodo (kanan) saat pertemuan tahunan OJK di Jakarta, Jumat (15/1/2021).
Penulis: Tim Redaksi
Editor: Redaksi
16/1/2021, 12.10 WIB

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan lima prioritas dan arah kebijakan untuk mendorong pengembangan sektor jasa keuangan dan menopang pemulihan ekonomi tahun ini. Prioritas tersebut termasuk melanjutkan upaya konsolidasi bank dan membuka pintu untuk pengembangan bank digital di Indonesia.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, masih ada berbagai tantangan dalam jangka pendek pada tahun ini. Di antaranya, masih lemahnya permintaan atas barang dan jasa karena pembatasan mobilitas masyarakat dan lemahnya daya beli.

Di sisi lain, ada kebutuhan mempercepat penanganan pandemi Covid-19 dan momentum kebutuhan digitalisasi untuk mendukung aktivitas ekonomi dan keuangan.

“Selain itu, secara struktural, industri jasa keuangan masih menghadapi beberapa tantangan,” kata Wimboh dalam pidatonya pada Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan yang digelar OJK secara virtual, Jumat malam (15/1).

(Baca juga: OJK Beberkan Efek Pandemi Terhadap Sektor Keuangan pada 2020)

Acara ini dihadiri oleh Presiden Joko Widodo, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, beberapa menteri dna pejabat tinggi lainnya, Gubernur Bank Indonesia Perry warjiyo beserta anggota dewan gubernur, anggota DPR, dan para pelaku industri keuangan.

Tantangan yang dimaksud Wimboh adalah keterbatasan daya saing dan skala ekonomi dan masih dangkalnya pasar keuangan di dalam negeri. Selain itu, ada kebutuhan mempercepat transformasi digital di sektor jasa keuangan dan pengembangan industri keuangan syariah yang belum optimal. Tantangan lainnya adalah ketimpangan literasi dan inklusi keuangan.

Berdasarkan berbagai tantangan itulah, OJK menentukan prioritas dan arah kebijakan ke depan untuk tahun ini. Ada lima prioritasnya.

Pertama, kebijakan yang mendukung program pemulihan ekonomi nasional. Menurut Wimboh, OJK akan memberikan ruang lebih besar bagi pelaku usaha dan sektor jasa keuangan untuk bangkit di tengah pandemi.

Kebijakan restrukturisasi kredit dan pembiayaan bagi debitur terdampak pandemi telah diperpanjang hingga Maret tahun depan. Insentif bagi UMKM, termasuk subsidi bunga dari pemerintah, akan terus difasilitasi.

“OJK juga menunda sementara penerapan beberapa standar intrenasional,” kata Wimboh. Tapi, dia tidak menjelaskan lebih detail jenis-jenis standar internasional tersebut.

Selain itu, OJK akan mengeluarkan beberapa kebijakan baru tahun ini untuk mendorong pemulihan ekonomi. Di antaranya, memberikan status sovereign bagi Lembaga Pengelola Investasi (Sovereign Wealth Fund), yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja.

Lalu,  melonggarkan kebijakan secara temporer dan terukur yaitu debitur dapat merestrukturisasi kreditnya secara berulang selama periode pelonggaran tersebut dan masih memiliki prospek usaha. “Relaksasi aturan restrukturisasi harus dipandang sebagai kebijakan yang win-win solution dan terukur, sehingga tidak deadlock.”

Relaksasi lainnya adalah penurunan bobot risiko kredit (ATMR) untuk kredit properti dan kredit kendaraan bermotor. Tujuannya mendorong konsumsi, UMKM, sekaligus meningkatkan penyaluran kredit dan pembiayaan.

Pelonggaran ATMR dan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) juga dilakukan untuk penyaluran kredit ke sektor kesehatan. Ini dalam rangka mempercepat penanganan pandemi Covid-19.

Bank digital (Katadata)

Prioritas kebijakan kedua OJK tahun ini adalah, penguatan ketahanan dan daya saing sektor jasa keuangan untuk persaingan di regional dan global. Caranya dengan mempercepat konsolidasi di industri jasa keuangan, terutama perbankan, asuransi, dan multifinance.

Selama tahun 2020, ada empat bank umum yang melakukan akuisisi dan 29 BPR melakukan merger. “Ini akan dilanjutkan tahun 2021 dengan memberikan kemudahan dan percepatan proses perizinan, serta dukungan pengaturan untuk meningkatkan permodalan minimum secara bertahap,” kata Wimboh.

OJK telah menerbitkan peraturan tentang konsolidasi bank umum pada 17 Maret 2020. Aturan itu mewajibkan bank umum memiliki modal minimum Rp 3 triliun paling lambat pada akhir tahun 2022.

Kewajiban itu dilakukan secara bertahap, yaitu minimal modal inti Rp 1 triliun pada akhir 2020, lalu minimal Rp 2 triliun pada akhir tahun ini dan sebesar Rp 3 triliun pada akhir tahun depan. Hingga kuartal III 2020 lalu, Berdasarkan catatan Katadata.co.id, masih ada 13 bank umum bermodal di bawah Rp 1 triliun (BUKU 1).

Kebijakan lainnya adalah melanjutkan reformasi di sektor jasa keuangan nonbank dan pasar modal melalui berbagai kebijakan, seperti batasan investasi dan penyediaan dana besar, serta penyempurnaan aturan permodalan.

Di sisi lain, pengawasan terintegrasi lintas sektor dan konglomerasi keuangan akan terus ditingkatkan. “Untuk memperkuat landasan hukumnya, OJK mendukung pemerintah menyusun peraturan undang-undang mengenai Financial Holding Company,” ujar Wimboh.

Prioritas ketiga adalah pengembangan ekosistem sektor jasa keuangan. Ekosistem ini meliputi sektor UMKM dan investor ritel melalui pengembangan infrastruktur pasar modal berbasis digital serta pemanfaatan security crowdfunding.

Selain itu, mendorong pembangunan ekonomi daerah melalui penerbitan obligasi daerah. Terakhir, OJK akan mendukung ekspansi perusahaan jasa keuangan melakukan multikegiatan usaha yang lebih universal dan berbasis digital.

Tak cuma itu, OJK akan meningkatkan peran jasa keuangan dalam sustainable finance, salah satunya dengan mendukung penerbitan instrumen investasi hijau seperti green bonds, green sukuk hingga inovasi pembiayaan blended finance.

Prioritas keempat kebijakan OJK tahun ini adalah mempercepat transformasi digital di sektor jasa keuangan. Pandemi telah mengakselerasi digitalisasi dis ektor jas akeuangan seiring dengan bergesernya gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat yang kian erat dengan penggunaan teknologi.

Untuk itu, OJK mendorong perusahaan jasa keuangan melakukan transformasi digital, baik pada proses bisnis, saluran distribusinya, hingga struktur kelembagaannya. OJK menjanjikan akan mempercepat dan mengintegrasikan persetujuan produk jasa keuangan berbasis digital.

Selain itu, OJK akan mengakomodasi perizinan bagi lembaga jasa keuangan digital, seperti bank digital yang akan beroperasi di Indonesia. Namun, hal ini tetap mengacu kepada ketentuan yang berlaku disertai beberapa tambahan persyaratan lain.

“Kami juga akan mempertimbangkan dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan dan kontribusinya terhadap perekonomian,” kata Wimboh.

Di sisi lain, OJK akan memperkuat industri keuangan berbasis teknologi (fintech) pembiayaan. Caranya dengan meninjau ulang tingkat permodalan minimum bagi fintech pembiayaan alias peer to peer lending agar memiliki kemampuan lebih besar untuk menutup risiko pembiayaannya. selain itu, menerapkan seleksi fit & proper test kepada pengurus perusahaan fintech lending.

OJK juga akan meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk keuangan syariah. “Cita-cita memiliki bank syariah berskala ekonomi besar semakin dekat dengan adanya merger bank syariah milik negara (BUMN),” kata Wimboh. Langkah tersebut perlu diikuti oleh pelaku industri keuangan syariah lainnnya.

Terakhir, prioritas kelima kebijakan OJK adalah penguatan kapasitas internal untuk melakukan pengaturan, pengawasan dan perlindungan konsumen. Untuk memperkuat infrastruktur pengawasan, OJK merampingkan proses bisnis dan penggunaan teknologi.

Reporter: Yura Syahrul