Melakukan investasi atau mencari pendanaan melalui instrumen berwawasan lingkungan memang belum menjadi tren saat ini. Meski demikian, investasi hijau ini dinilai perlu segera dilakukan. Sebenarnya, bagaimana untung dan ruginya melakukan investasi atau mencari pendanaan berwawasan lingkungan?
Corporate Banking Director PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie mengatakan, biaya untuk menerbitkan pembiayaan hijau memang lebih tinggi dibandingkan pembiayaan biasa karena membutuhkan auditor, sertifikasi, dan lainnya.
"Tapi saya lihat bukan perihal untung-rugi karena ini adalah pelestarian bumi, karena kalau tidak mulai dari sekarang, kapan kita mulai," kata Kunardy dalam acara SAFE Katadata Forum 2021, Kamis (26/8).
Dengan demikian, mencari pembiayaan atau menerbitkan instrumen obligasi ramah lingkungan merupakan investasi jangka panjang. Jika tidak dilakukan, akan berbahaya dan mengkhawatirkan.
Kunardy menilai investor saat ini sudah mulai memperhatikan dan peduli untuk proyek-proyek yang dibiayai menggunakan instrumen ramah lingkungan ini. Maka itu, investor memberi mendukung dan bisa saja mengenakan bunga yang lebih rendah.
Ia mengatakan, perusahaan yang ingin mengambil opsi pembiayaan hijau untuk pertama kalinya masih cukup sulit. Tapi kalau sudah dipikir framework, debitur sudah terbiasa. "Investor ke depan akan semuanya ke sana, untuk jangka menengah akan benefit untuk debitur," katanya.
Perusahaan pertama di Indonesia yang menerbitkan surat utang berwawasan lingkungan adalah PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) pada 2018. Saat itu, nilai penerbitannya belum besar, hanya Rp 500 miliar.
Presiden Direktur SMI Edwin Syahruzad mengatakan, memang pada saat melakukan penerbitan green bond pada 2018 lalu, belum banyak investor yang tertarik dan tergerak untuk menyerap obligasi tersebut. Tetapi, Edwin menilai saat ini investor institusi sudah mulai memiliki kepedulian pada aspek lingkungan dan keberlanjutan.
"Tentunya, lambat laun manfaat yang akan diperoleh juga akan semakin nyata di samping manfaat jangka panjang. Tentunya yang tidak didapat jangka pendek adalah penciptaan kesejahteraan umat manusia dan kesetaraan sosial juga sejalan dengan upaya mengurangi risiko lingkungan," kata Edwin.
ia menilai, risiko lingkungan adalah masalah bersama, sehingga ia melihat investasi berwawasan lingkungan bukan untuk jangka pendek. "Saya melihat manfaat jangka panjangnya yang lebih terdepan ketimbang jangka pendek," katanya.