Bank Indonesia (BI) telah memperingatkan risiko perdagangan aset kripto yang meningkat di tahun ini akibat kerentanan perekonomian global, terutama akibat kenaikan suku bunga The Federal Reserve. Peringatan ini muncul di tengah jatuhnya sebagian besar mata uang kripto.
Peringatan ini mulci dalam laporan terbaru BI bertajuk Kajian Stabilitas Keuangan No. 38 yang dirilis pada hari ini, Jumat (13/5). Menurut BI, risiko perdaganan aset kripto perlu diwaspadai sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian terhadap underlying asset. Di samping itu, kripto juga masih menghadapi tantangan dari sisi kesenjangan regulasi, serta perkembangan inovasi terkait pemanfaatan untuk kegiatan cybercrime.
BI menyebut, risiko kripto bukan hanya berasal dari berbagai kerentanan struktural tersebut, tetapi juga perekonomian global yang tengah berlangsung. Kerentanan perekonomian global bersumber dari kenaikan inflasi, ketidakpastian arah kebijakan The Fed, serta meningkatnya tensi geopolitik global.
"Kerentanan ini akan membuat volatilitas harga aset kripto tinggi, sehingga meningkatkan eksposure kerugian finansial yang harus ditanggung investor," kata BI dalam laporannya.
Bank sentral menilai, perkembangan aset kripto dan risikonya telah menjadi perhatian global yang memerlukan pengaturan dan pengawasan yang efektif. Isu ini juga turut dibahas dalam pertemuan pertama para menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara G20 pada Februari lalu di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, bank-bank sentral G20 sepakat untuk terus melakukan pendalaman terhadap potensi kesenjangan pengaturan terhadap aset kripto.
BI mengatakan, perkembangan transaksi kripto bisa menjadi sumber kerentanan yang baru dan berdampak pada instabilitas sistem keuangan global tanpa adanya pengaturan dan pengawasan yang efektif. Hal ini tidak lepas dari keterkaitan aset kripto dengan sistem keuangan konvensional.
Kerugian lainnya, yakni dampaknya terhadap risiko kredit investor. BI menyebut penurunan tajam pada harga kripto akan menyebabkan investor harus menanggung kerugian jika menjualnya pada harga lebih rendah dibandingkan harga belinya.
"Risiko kredit investor domestik bisa bersumber dari kegagalan pedagang aset kripto," kata BI.
Di samping itu, aset kripto yang ditemukan bermasalah akan dibekukan oleh otoritas terkait, dalam hal ini Bappebti. Hal ini akan merugikan investor, pasalnya ada risiko kehilangan atau terhambatnya penarikan dana wallet kripto investor di pedagang tersebut.
Peringatan BI ini sudah terlihat di pasar aset kripto saat ini. Mengutip Coindesk, harga Bitcoin sudah anjlok 17% dalam sepekan terakhir ke posisi US$ 30.101 pada sore ini. Etherium juga amblas lebih dalam sebesar 24% menjadi US$ 2.061. Aset kripto yang beberapa hari terakhir tengah mendapat sorotan yakni Terra LUNA bahkan kehilangan nilainya hingga hampir 100% dari pekan lalu US$ 79,7 menjadi tersisa US$ 0,004.
Analis sekaligus chief executive di Factor Peter Brandt menyampaikan, penyebab harga bitcoin terus melorot adalah kebijakan The Fed. Kenaikan suku bunga The Fed membuat imbal hasil obligasi melonjak dan membuat investasi spekulatif seperti bitcoin terlihat kurang menarik. Ia memperkirakan harga bitcoin terus melorot, penurunan tajam ini akan terjadi seperti 2017.
“Sekarang US$ 28 ribu diterima secara luas sebagai prediksi penurunan. Saya terpaksa mengubah pandangan saya. Entah harga bertahan di atas US$ 30 ribu atau melewati US$ 28 ribu,” kata Peter melalui akun Twitter @PeterLBrandt, Senin (9/5).