SEC telah menyetujui perubahan aturan yang akan membuka jalan bagi ETF yang membeli dan menyimpan Ether (ETH), salah satu mata uang kripto terbesar di dunia, pada Kamis (23/5). Keputusan ini muncul kurang dari enam bulan setelah Komisi Sekuritas dan Bursa AS ini menyetujui ETF Bitcoin.
Menurut FactSet, ETF Bitcoin spot terbukti sukses besar untuk industri ini. Nilai arus masuk bersih di ETF Bitcoin spot yang diperdagangan di Bursa AS telah melampaui US$12 miliar (Rp 190,8 triliun dengan asumsi kurs Rp 15.900/US$).
Akhir Mei ini merupakan tenggat waktu bagi SEC untuk memutuskan apakah VanEck Ethereum ETF dapat dilanjutkan. Banyak perusahaan yang mensponsori ETF Bitcoin - termasuk BlackRock, Bitwise, dan Galaxy Digital - juga telah memulai proses peluncuran ETF Ether.
Harga Ether naik 2% setelah kabar ini. Sejak awal minggu ini, harga Ether telah melonjak 20%. Data Coindesk menunjukkan harga Ether naik 1% menjadi US$3.776,2 (Rp 60,04 juta) dalam 24 jam terakhir.
Beberapa investor mungkin juga sedang menunggu, karena persetujuan perubahan aturan SEC tidak menjamin bahwa semua reksa dana akan diluncurkan. Secara khusus, perintah SEC menyetujui aplikasi dari berbagai bursa untuk mendaftarkan delapan ETF Ether yang berbeda. Perintah tersebut secara teknis tidak menyetujui dana itu sendiri atau menetapkan tanggal bagi ETF tersebut untuk mulai diperdagangkan.
Arus masuk dana ke ETF Ether diperkirakan akan lebih kecil dibandingkan dengan ETF Bitcoin. Grayscale Ethereum Trust saat ini memiliki aset sekitar US$11 miliar (Rp 174,9 triliun), jauh lebih kecil daripada dana Bitcoin perusahaan sebelum dikonversi.
Menurut laporan CNBC, persetujuan ETF Ether adalah tanda bahwa sikap SEC terhadap kripto semakin melunak setelah serangkaian pertarungan hukum. Agensi tersebut kalah dalam gugatan terhadap Grayscale pada tahun 2023 yang mendorong persetujuan untuk produk Bitcoin.
Dorongan SEC untuk mengatur kripto juga mendapat sorotan dari para politisi. Senat minggu lalu mengeluarkan resolusi untuk menarik buletin staf SEC tentang aturan akuntansi untuk aset digital.
Ether adalah aset kripto terbesar kedua dan telah menjadi semacam koin blue chip bersama dengan Bitcoin, meskipun proposisi nilainya sangat berbeda. Bitcoin dipandang sebagai penyimpan nilai jangka panjang sedangkan investasi dalam Ether dianggap lebih mirip dengan investasi dalam teknologi tahap awal.
Token Ether mendorong jaringan Ethereum, yang menggerakkan berbagai aplikasi. Misalnya, proyek keuangan terdesentralisasi (DeFi), token yang tidak dapat dipertukarkan (NFT), atau tokenisasi aset dunia nyata seperti komoditas, sekuritas, seni, real estat, dan lainnya.
"Aplikasi yang disetujui SEC ini tidak berlaku untuk proyek kripto lainnya di jaringan Ethereum. Ketika produk Ether disetujui, itu tidak berarti bahwa produk serupa untuk aset digital lain di platform Ethereum akan disetujui,," kata Richard Kerr, seorang mitra di firma hukum K&< Gates seperti dikutip CNBC.
Ethereum juga memberikan peluang untuk staking, yang merupakan cara bagi investor untuk mendapatkan bunga dari kepemilikan Ether mereka dengan mengunci token di jaringan untuk jangka waktu tertentu. Namun, ETF Ether di AS mungkin tidak berpartisipasi dalam skema ini.
Dalam tuntutan hukum terhadap Coinbase dan Kraken, SEC menyebut penawaran staking-as-a-service adalah sekuritas yang tidak terdaftar. Ark, Fidelity, dan Grayscale memperbarui pengajuan mereka bulan ini untuk menghapus staking dari proposal mereka.
"Kurangnya staking dalam produk ETF adalah alasan lain mengapa ETF Ether mungkin melihat lebih sedikit permintaan daripada ETF Bitcoin," kata Steven Lubka, direktur pelaksana di Swan Bitcoin dan kepala Swan Private. Menurutnya ada beberapa perbedaan struktural dalam produk yang membuat ETF Ether kurang menarik secara keseluruhan.