PT Garuda Indonesia Tbk akan memperkuat langkah pemulihan seoptimal mungkin agar kinerja semakin membaik. Targetnya, perusahaan dapat rebound dari posisi rugi Rp 10,47 triliun yang dibukukan sepanjang semester pertama 2020.
Secara garis besar, strategi yang dijalankan perseroan meliputi pemulihan kinerja secara menyeluruh pada berbagai lini bisnis. Misalnya optimalisasi pendapatan penumpang penerbangan berjadwal, layanan kargo, hingga penerbangan tak berjadwal atau charter.
"Fokus utama kami adalah mengupayakan perbaikan fundamental perseroan secara terukur dan berkelanjutan," kata Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra, dalam siaran pers, Selasa (4/8).
Selain menjalankan strategi pemulihan dari segmen bisnis, perseroan juga membenahi pengelolaan biaya. Beberapa aspek yang dimaksud antara lain negosiasi biaya sewa pesawat, restrukturisasi utang, hingga efisiensi di seluruh lini operasional.
Menurut Irfan, langkah strategis dari pengelolaan biaya ini diperlukan agar Garuda Indonesia mampu menyelaraskan tren permintaan dan penawaran di masa pandemi virus corona atau Covid-19. Melalui langkah pemulihan kinerja ditambah dukungan penuh pemerintah dan soliditas stakeholder penerbangan, ia yakin maskapai pelat merah ini dapat bertahan dan kembali bangkit.
Garuda Indonesia memang mendapat pukulan telak selama masa pandemi corona, di mana wabah ini menyebabkan industri penerbangan berada di titik terendahnya sepanjang sejarah. Pasalnya, pembatasan penerbangan di masa pandemi membuat frekuensi penerbangan seluruh maskapai turun signifikan.
Hal ini tercermin dari frekuensi penerbangan perseroan yang anjlok, dari sebelumnya rata-rata melayani lebih dari 400 penerbangan per hari menjadi hanya di kisaran 100 penerbangan per hari.
Catatan rugi ini disebabkan karena pendapatan perseroan turun 58,18% menjadi hanya US$ 917,28 juta sepanjang semester I 2020. Pada semester I 2019 perseroan mampu meraup pendapatan sebesar US$ 2,19 miliar.
Penerbangan berjadwal Garuda Indonesia yang merupakan kontributor terbesar hanya membukukan pendapatan sebesar US$ 750,25 juta selama paruh pertama tahun ini. Jumlah ini turun 59,55% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, sebesar US$ 1,85 miliar.
Dari pendapatan lainnya perseroan hanya mampu membukukan US$ 145,47 juta sepanjang semester I 2020, turun 56,45% dibandingkan semester I 2019 yang tercatat sebesar US$ 334,06 juta.
Meski demikian, Garuda Indonesia masih mampu mencatatkan peningkatan pada pendapatan dari penerbangan tak berjadwal. Per 30 Juni 2020 pendapatan dari lini bisnis kargo mencapai USUS$ 21,54 juta, melonjak 392,5% dibandingkan posisi per 30 Juni 2019.
Sebelumnya perseroan menyatakan lini pendapatan tak berjadwal atau charter memang menjadi salah satu bisnis yang dimaksimalkan di tengah pandemi. Salah satu contohnya, pesawat disewa oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) farmasi untuk mengambil bahan baku obat di Shanghai, Tiongkok.
Selain itu, Garuda Indonesia juga melayani permintaan sewa pesawat dari pemerintah negara lain yang ingin memulangkan warga negaranya di tengah pandemi corona.